Mohon tunggu...
Fahlan Fachrurozi
Fahlan Fachrurozi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Komunikasi, Stikom Bandung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Yang Susah Itu bukan Nulis, tapi ..

2 Januari 2015   06:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:59 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya menulis ini karena terinspirasi dari adik saya di Stikom yang bertanya tentang gimana sih menulis, kok susah banget. Terima kasih untuknya, karena telah memberi buah pikiran yang saya jadikan tulisan ini(*)

Jika menulis masih pakai bahasa ibu kita, tak ada kata susah untuk melakukannya. Kecuali kalau memang belum pernah mengenyam nikmatnya pendidikan dasar. Menulis itu gampang loh. Coba saja hitung berapa banyak kata yang keluar lewat BBM, lewat Twitter, Facebook, Blog, sampai memo yang kita tulis. Ribuan kata mengalir berombak begitu saja. Mudahkan menulis?

Lantas, kenapa ada alasan bahwa “aku susah nulis apa yang ada dipikiranku, aku gak bisa ngerangkai kata, aku belum terbiasa menulis, aku ingin menulis, tapi rasanya kok susah sekali mengeluarkannya” dan lainnya yang makin aneh. Sekarang, jika memang benar menulis itu susah, kita buktikan. Sekarang lepaskan dulu paradigma tradisional yang melekat pada pikiran bahwa menulis itu susah.

Sebenarnya bukan menulis yang susah, menulis hanya hasil akhir dari proses yang begitu rumit.

kita hanya melihat seorang itu sukses lalu hidup mewah, tidak melihat bagaimana jerih payah ia mencapai kesuksesannya. Kita selalu melupakan proses tengahnya, dan ironisnya – inilah bagian paling penting, bagian tengah. Begitu juga dengan menulis, (sebelumnya harus banyak membaca dulu) kita ingin sekali tulisan kita mirip seperti bahasa yang melambai-lambai ala Tere Liye, atau Andrea, atau bahasa lugasnya wartawan, atau menggebu-gebu ala Felix Siaw, atau njilimetnya bahasa Laksmi Pamunjtak, atau mengalir seperti sungai ala Irfan Amalee. Nah kawan, dari hasil akhir itu, kita harus lewati bagian tengahnya dulu. Yaitu, proses pencarian ide, pengetahuan tentang yang akan kita tulis (riset), dan kemampuan beranalisis. Sebuah buku, katakanlah novel, diciptakan tidak hanya sekedar tulisan, tapi disitu ada data yang disampaikan lewat tulisan mutu tinggi sehingga tak tersadari bahwa itu adalah data. Dan data itu dihasilkan dari proses yang cukup memakan waktu. Sehingga butuh beberapa tahun sebuah buku itu benar-benar siap terbit. Baik, lupakan ini.

Jika masih ngotot bahwa menulis itu susah, gini, ada perumpamaan sederhana. Tentunya sebagai pelajar, kita pasti pernah dong mengisi soal, apalagi pilihan ganda. Dan, tentunya juga Anda pernah dibuat pusingkan dengan beberapa soal yang tak bisa dijawab? Padahal cara jawabnya mudah, tinggal coret (dengan cara menulis) jawaban yang dianggap paling benar, entah itu a,b,c, atau d. Tapi soal itu betul-betul sulit, memori otak kita seolah tak menyimpan data akan jawaban itu. Kenapa kita tidak menyalahkan bahwa menulis itu susah pada konten ini?

Karena kita tak menganggap ini sedang menulis, tapi sedang “ngerjain soal”. Sudah saya ingatkan, menulis itu ada bagian tengahnya, nah pada contoh kasus “ngerjain soal” ini, kita tak bisa mengisi soal bukan karena tak bisa menulis toh? Tapi karena kita memang tidak tahu mana jawaban yang benar. Berarti ini kaitannnya dengan pengetahuan yang akan kita tulis. Yang berujung pada tak adanya keputusan untuk memilih jawaban, yang dilakukan dengan cara menulis itu.

Nah, kesimpulannya berarti, sebelum mulai menulis, sangat baiknya kita mencari ide (mengambil angle atau sudut pandang untuk memudahkan dari mana kita akan mulai menulis), menggali pengetahuan tentang yang akan ditulis, dan kemampuan beranalisis atau berargumen dari teori-teori yang diterapkan, atau kata bijak yang dikutip.

Ada juga alasan yang berasumsi “ide-ide itu ada dipikiran saya, tapi saya tak bisa mengeluarkannya lewat tulisan”. Apakah sudah haqul yakin bahwa idenya itu benar-benar ada, jangan-jangan semu? Kalau benar ada, kenapa tak bisa? Seperti halnya kalau tak cinta, kenapa peduli? Berarti cinta dong. Kalau ada, kenapa tidak bisa, berarti tak ada.

Atau jangan-jangan, ini hanya anggapan saja bahwa ide itu ada? Contoh lagi, nu sederhana wehnya, meh babari. Coba ceritakan (tuliskan) bagaimana Anda bisa membeli sebuah permen di warung terdekat. Mulai dari pakai sandal, arah jalan, sampai di warung dan kembali ke rumah lagi. Saya yakin Anda pasti bisa menuliskannya. Karena Anda pasti tahu jalan ke warung terdekat, ya kecuali kalau baru pindahan. Tahu jalan sama dengan tahu apa yang akan kita tulis. Silahkan coba!

Sudah? Sekarang, coba tuliskan bagaimana cara membeli permen di warung terdekat dengan rumahnya Cristian Ronaldo. Anda pasti kelabakan, rumahnya Ronaldo aja dimana – saya gak tahu, gumam Anda. Secara otomatis pula, Anda tidak akan bisa menuliskannya, sebelum Anda meriset atau mencari pengetahuan dimana itu rumah Ronaldo dan warung terdekatnya. Ya, kan?

Nah, setelah tahu rahasianya, menulis itu mudahkan? Hanya perlu ingat ada bagian tengahnya. Usaha. Dan ada judul buku yang bertema “nulis itu dipraktekin” kalau Anda belum pernah mempraktikannya, hanya sekedar baca-baca teori, semua ini omong kosong, untuk semua hal apa pun. Karena esensi dari belajar adalah, sesuai etimologi kata-nya yang sepadan dengan kata Education yang bermuara pada bahasa latin – educare, yang artinya – “mengeluarkan” potensi-potensi yang ada dalam diri.

Setelah dimasukan lewat teori, keluarkanlah lewat praktik. Jangan hanya jadi cangkir yang hanya sanggup menampung atau teko yang hanya bisa mengeluarkan apa yang dimasukan. Jika dimasukan kopi maka keluarnya pun kopi, susu keluarnya pun susu. Jadilah tanaman yang bisa menampung air, lalu mengeluarkannya menjadi buah yang manis, yang jauh berbeda dengan apa yang telah dimasukan. Anda tidak perlu cukup pintar untuk bisa tetap hidup, tapi jadilah berbeda.

Nah terakhir, kenapa kita sering terpaku saat nulis adalah bahwa kita menganggap tulisan kita lebih baik dari yang kita bayangkan. Karena pada dasarnya manusia selalu merasa lebih hebat dari realitasnya. Semua rumusan coretan diatas berdasarkan pengalaman, benar salah, ya itu pengalaman saya (ah, kaya udah jago aja, kaya udah bikin buku aja).

Tulisan pertama kita pasti tidak akan sebaik yang diharapkan. Rhenald Kasali pun berkata dalam sebuah koran edisi lama “pemula memulai karyanya selalu dengan hasil yang buruk. Selama itu tidak plagiat – patut dihargai”. Dan, tulisan Anda mungkin tidak sebagus Tere Liye, Secerdas Emha Ainun Najib, sesembrono Sujiwo Tejo, sejelas Andrea Harsono. Tapi bersyukurlah, Anda dan saya berbeda dengan mereka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun