Oleh: Fadly Bahari La Patikala
------------
Kita sering mendengar istilah "revitalisasi" atau "pelestarian budaya." Memang, itu adalah upaya yang mulia. Namun terlalu sering, kedua gagasan itu terasa seperti sekadar menata ulang peninggalan di dalam museum --- rapi, utuh, tapi tak bernyawa.
Dan memang, jika kita tidak hati-hati dalam mengelola cara pandang terhadap masa lalu --- terhadap tradisi dan budaya --- kita, generasi kini, bisa terjebak dalam posisi pasif: bukan sebagai pelaku atau pencipta, melainkan hanya sebagai pewaris yang menonton, atau penikmat yang mengagumi dari kejauhan.
Lalu, bagaimana jika kita tidak sekadar menata ulang masa lalu,
melainkan melanjutkan kisahnya --- seperti menulis bab baru dalam epos I La Galigo,
karena epos itu belum usai selama kita masih berani menulis bab berikutnya?
.
Ini bukan sekadar proyek, melainkan gerakan spiritual-intelektual yang menolak membiarkan sejarah membeku.
Ia hadir untuk menyalakan kembali kesadaran purba --- bukan sebagai kenangan,
tapi sebagai cahaya yang menerangi jalan di tengah disrupsi zaman.
Untuk memahami Reinventing Luwu, kita harus melepaskan Luwu dari sebatas peta geografis di Sulawesi.
Secara historis, Luwu adalah poros awal peradaban Sulawesi --- ibu dari banyak kerajaan Bugis-Makassar.
Lebih dari itu, dalam jiwa bahasanya, kata Luwu menyimpan resonansi air: keluasan yang tak menghakimi, kedalaman yang tak mudah diukur, dan keluwesan yang tak kehilangan bentuk.
Air adalah simbol utama kebijaksanaan. Ia mengalir, menyesuaikan diri dengan wadah apa pun, namun selalu mencari jalan kembali ke sumbernya --- jernih.