Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

REINVENTING LUWU - Begini Penjelasannya!

17 Oktober 2025   12:47 Diperbarui: 17 Oktober 2025   12:47 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Fadly Bahari La Patikala

------------

Kita sering mendengar istilah "revitalisasi" atau "pelestarian budaya." Memang, itu adalah upaya yang mulia. Namun terlalu sering, kedua gagasan itu terasa seperti sekadar menata ulang peninggalan di dalam museum --- rapi, utuh, tapi tak bernyawa.

Dan memang, jika kita tidak hati-hati dalam mengelola cara pandang terhadap masa lalu --- terhadap tradisi dan budaya --- kita, generasi kini, bisa terjebak dalam posisi pasif: bukan sebagai pelaku atau pencipta, melainkan hanya sebagai pewaris yang menonton, atau penikmat yang mengagumi dari kejauhan.

Lalu, bagaimana jika kita tidak sekadar menata ulang masa lalu,
melainkan melanjutkan kisahnya --- seperti menulis bab baru dalam epos I La Galigo,
karena epos itu belum usai selama kita masih berani menulis bab berikutnya?

.
Ini bukan sekadar proyek, melainkan gerakan spiritual-intelektual yang menolak membiarkan sejarah membeku.
Ia hadir untuk menyalakan kembali kesadaran purba --- bukan sebagai kenangan,
tapi sebagai cahaya yang menerangi jalan di tengah disrupsi zaman.

Untuk memahami Reinventing Luwu, kita harus melepaskan Luwu dari sebatas peta geografis di Sulawesi.

Secara historis, Luwu adalah poros awal peradaban Sulawesi --- ibu dari banyak kerajaan Bugis-Makassar.

Lebih dari itu, dalam jiwa bahasanya, kata Luwu menyimpan resonansi air: keluasan yang tak menghakimi, kedalaman yang tak mudah diukur, dan keluwesan yang tak kehilangan bentuk.

Air adalah simbol utama kebijaksanaan. Ia mengalir, menyesuaikan diri dengan wadah apa pun, namun selalu mencari jalan kembali ke sumbernya --- jernih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun