Di awal memang ada semacam “lompatan iman intelektual” ketika seorang ilmuwan menetapkan sistem dasar. Hampir semua revolusi sains dimulai dari sini. Euclid menuliskan postulat geometri, Newton mendefinisikan hukum gerak, sementara Einstein berani mengandaikan kelengkungan ruang-waktu.
Semua itu pada masanya tidak lebih dari keputusan berani untuk mempercayai sebuah asumsi dasar, sebelum dunia punya cara untuk membuktikannya. Inilah iman khas intelektual. bukan keyakinan buta, melainkan keberanian memberi kesempatan pada intuisi untuk diuji oleh logika.
Sebelum teknologi mutakhir komputasi kuantum bisa bekerja dengan Kode Steane 7-qubit sebagai kode koreksi kesalahan (yang benar-benar esensial, karena tanpa kode ini komputasi kuantum akan sulit beroperasi dengan stabil), terlebih dahulu ada jalan panjang: mengenal bidang Fano, ruang vektor, titik, garis, bidang proyektif, dan paling dasar---logika aritmetika modulo 2, yang kita sebut GF(2).
Sekitar dua abad lalu, seorang anak muda Prancis bernama variste Galois (yang meninggal tragis di usia 20 tahun) hanya melemparkan satu pertanyaan sederhana: bagaimana kalau saya bermain aritmetika hanya dengan 0 dan 1? Pertanyaan sepele itu ternyata menjadi awal sebuah revolusi. Kini kita menyebutnya Galois Field, sistem bilangan yang hanya mengenal nol dan satu, dengan aturan penjumlahan dan perkalian yang dimodifikasi.
Dari intuisi itulah sains bergerak. Bidang proyektif lahir. Definisi titik dan garis dibentuk ulang. Titik bukan lagi "alamat" dengan koordinat x, y, z, melainkan "arah"---kelas dari semua vektor searah. Dari sana, ruang vektor imajiner dibangun, lalu muncullah bidang Fano: bangun kecil yang sederhana namun menyimpan kompleksitas menakjubkan.
Dan ketika fisikawan serta ilmuwan komputer berusaha membangun komputer kuantum, mereka menemui masalah besar: sistem kuantum terlalu rapuh, penuh kesalahan. Tanpa koreksi, komputer kuantum tak akan pernah stabil. Di sinilah bidang Fano dipanggil kembali. Dari simetri tujuh titik dan tujuh garis, lahirlah Kode Steane 7-qubit---kode koreksi kesalahan kuantum yang kini menjadi pilar teknologi. Generator penstabil, yang bisa mendeteksi kesalahan tanpa merusak informasi, berkorespondensi langsung dengan tujuh garis bidang Fano.
Demikianlah, perjalanan ini menunjukkan sesuatu yang menakjubkan: intuisi yang lahir dari permainan imajinatif seorang anak muda abad ke-19, kini menopang teknologi abad ke-21 yang sedang membuka jalan untuk mengungkap rahasia terdalam alam semesta.
Sains memang berjalan dengan logika. Tapi ia lahir dari intuisi. Intuisi membuka pintu, logika menuntun langkah, dan keduanya bersama-sama membawa kita menyingkap simetri realitas. Dari aritmetika 0 dan 1 menuju komputer kuantum, dari titik dan garis menuju rahasia kosmos---segalanya bermula dari keberanian membiarkan intuisi berbicara.
Menatap Masa Depan: Menanti Galois Abad ke-21
Jika variste Galois di abad ke-19 membuka pintu dengan intuisi sederhana---bermain dengan aritmetika 0 dan 1---maka di abad ke-21 kita pun menanti: intuisi macam apa yang akan membuka pintu berikutnya?
Jensen Huang, pendiri NVIDIA, pernah mengatakan bahwa generasi muda sebaiknya lebih banyak belajar matematika dan fisika, sebab keduanya akan menjadi fondasi dunia baru yang akan kita masuki. Pernyataan itu bukan sekadar motivasi, melainkan arah kompas.
Lalu, bidang matematika manakah yang layak dipelajari, agar lahir Galois baru yang membawa kita menuju revolusi berikutnya?