Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Identifikasi Semar sebagai Analogi Sem bin Nuh

24 Juli 2020   19:15 Diperbarui: 30 September 2020   19:32 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kesamaan visual antara Semar dan burung Kasuari (sumber: wikipedia dan voaindonesia.com)

Dalam tradisi Jawa, sosok Semar tidak saja dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam pewayangan yang dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan wiracarita Mahabharata dan Ramayana. Lebih dari pada itu,  ia juga adalah entitas mistis yang mengisi panggung dunia spiritual masyarakat Jawa.

Mark R. Woodward, peneliti etnografi Jawa dari berkebangsaan Amerika, dalam bukunya berjudul "Islam Jawa ; Kesalehan Normatif Versus Kebatinan" mengatakan bahwa: Semar juga dianggap sebagai pembimbing spiritual dalam pengertian yang lebih umum. Banyak mistikus Yogyakarta yang mencari inspirasi darinya dan secara rutin berkunjung ke candi di Serandil yang diyakini merupakan tempat berkubur.

Woodward juga mengatakan bahwa ada pandangan yang berkembang di antara para mistikus Yogyakarta yang menyatakan bahwa peran Semar dalam mistisisme sama dengan Nabi Muhammad dalam sistem kesalehan Islam normatif. Beberapa di antaranya lebih jauh melukiskan sebagai "nabi batin."

Hal ini dianggap Woodward sebagai tema yang menguat di dalam kepercayaan kraton Yogyakarta, tempat posisi Semar paralel dengan Sunan Kalijaga. Sebagaimana wali, Semar membantu Sultan mengatur wewenang yang ia transendensikan sendiri. 

Dalam hal ini, Sultan dianggap sebagai keturunan langsung dari Arjuna, dan karena itulah berhak atas bantuan dan perlindungan Semar. 

Lebih jauh Woodward juga mengatakan bahwa para informannya yang berasal dari kalangan istana, percaya bahwa Sultan bisa berbicara langsung dengan Semar, yang membimbing adminstrasi kerajaan maupun persoalan keagamaan pribadi Sultan.

Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya "Sufi pinggiran: menembus batas-batas" (2007:113-114), mengatakan bahwa dalam tradisi Jawa, Semar bukan saja tokoh dalam dunia wayang tetapi juga merupakan legenda dan mitos politik.

Dalam legendanya, Semar dikenal sebagai tokoh yang menyimpan sumber kepemimpinan karismatik sekaligus rasional. Selain itu ia juga menyimpan sumber daya kekuatan fisik yang dikenal dalam idiom Jawa sebagai kadigdayan atau kasekten dan kekuatan spiritual luar biasa.

Menurut Abdul Munir Mulkhan, walaupun tampilan empiris Semar sama sekali tidak menggambarkan citra kekuasaan yang biasa hebat, tetapi dalam wajah santun yang terkesan rural (ndesit, kata orang Jogja), namun, semua orang-orang besar pewayangan mengetahui dan paham terhadap kekuatan sang Semar, sehingga para dewa harus berpikir beberapa kali ketika sang Semar menempatkan diri dalam posisi oposan.

Kadikdayaan dan kekuatan fisik sang Semar baru dapat dipergunakan untuk membela mereka yang sengsara dan diperlakukan tidak adil. Karena itu tokoh yang satu ini biasanya baru tampil ke panggung politik ketika dunia sosial-politik sedang mengalami kekacauan dan jalan buntu. Intinya, Semar Bodronoyo adalah tokoh spiritual yang selalu berada di balik layar, hadir dalam momentum tertentu saja.

Demikianlah kurang lebih, seperti apa keistimewaan sosok Semar dalam tradisi masyarakat Jawa.

"Puzzle" Pohon Cemara

Seperti biasa, ketika saya mengamati sesuatu objek yang ingin saya cermati, pendekatan linguistik dalam hal aspek homofon, menjadi salah satu fokus perhatian utama saya.

Nama 'Semar', dalam pandangan saya, cukup homofon dengan "cemara". Dugaan awal ini kemudian saya tindaklanjuti dengan mencari tahu nama lain dari pohon cemara. Hasilnya, saya menemukan hal menarik, dan saya pikir berpotensi menjadi "puzzle" penting untuk mengungkap asal usul sosok Semar.

Nama latin pohon Cemara adalah "Casuarina". Nama ini berasal dari sebutan pohon Cemara dalam bahasa Melayu yakni "Pohon Kasuari". Habitat asli pohon ini adalah wilayah Asia tenggara, Benua Australia, hingga kepulauan di Pasifik. (sumber di sini)

Pertanyaan yang mesti timbul dari fakta ini adalah: Mengapa "pohon Cemara" juga disebut sebagai "pohon Kasuari" oleh orang-orang Melayu (Asia Tenggara) di masa lalu? apa yang mendasari hal itu?

Meskipun alasan umumnya adalah karena daun pohon Cemara terlihat mirip dengan bulu burung Kasuari, namun dalam pandangan saya, adanya kesamaan visual antara sosok Semar dalam pewayangan dengan burung Kasuari juga layak dipertimbangkan, yakni keduanya sama-sama menunjukkan memiliki bokong yang besar, juga sama-sama memiliki Jambul.

Lebih jauh, kita akan dapat menemukan Pembuktian berikutnyaa dengan menggali makna nama lain dari pohon cemara yakni: Ru, Rhu, atau Aru. ini juga merupakan sebutan lain pohon Cemara atau pohon Kasuari dalam bahasa Melayu.

Kata "ru, rhu, atau pun aru" nampaknya bentuk kuno dari kata "haru" yang kita kenal dalam bahasa Indonesia. Dari Proto-Melayu  (h)Aru, Proto-Malayo-Chamic (h)aru, Proto-Malayo-Sumbawan (h)aru, Proto-Sunda-Sulawesi (h)aru, Proto-Malayo-Polinesia (q)aruhu. Sementara dalam bahasa Kabyle (bahasa Berber) yang digunakan oleh orang-orang Kabyle di utara dan timur laut Aljazair, kata 'ru' artinya: menangis. meneteskan air mata.

Hal ini sejalan dengan wajah Semar yang senantiasa dilukiskan dengan mata yang selalu sembab dan mengeluarkan air mata. 

Ini juga nampaknya ada keterkaitan mengapa nama pohon Cemara juga disebut "pine tree".

Menurut www.etymonline.com kata "pine" berasal dari bahasa Inggris Kuno Pinian = "torment, afflict, cause to suffer" (siksaan, penderitaan, menyebabkan penderitaan), dan dari pin (n.) = "pain, torture, punishment" (Sakit, siksaan, hukuman). Dianggap berasal dari bahasa Latin poena = "punishment, penalty" (hukuman, penalti).

Berikutnya, pohon Cemara juga disebut "Whistling Pine". Whistling yang artinya "bersiul" pun pada kenyataannya terkait pula dengan salah satu ciri Semar yang diceritakan dalam pewayangan kadangkala mengeluarkan bunyi kentut,  dianggap sebagai salah satu kesaktiannya.

Demikianlah, beberapa komparasi di atas saya pikir sudah cukup memperlihatkan adanya kemungkinan bahwa nama "Cemara" sesungguhnya memang terkait erat dengan nama "Semar."

Hal ini mungkin dapat juga menjadi penjelasan terkait adanya toponim (nama wilayah) yang menggunakan sebutan “cemara” di beberapa tempat di Jawa tengah. Seperti pantai Cemara Sewu, atau pantai Goa Cemara di Yogyakarta, juga Cemoro Kandang dan Cemoro Sewu di Gunung Lawu.

Dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa simbol-simbol seperti "mata sembab, dan linangan air mata" yang digambarkan pada sosok Semar, dapat lebih terurai makna metaforanya melalui penggalian makna nama-nama lain dari pohon cemara. 

Ini seperti menjadikan entitas pohon cemara sebagai chamber of meaning atau "ruang penyimpanan makna tersembunyi" dari sosok Semar.

Adapun mengenai "hukuman, dan penderitaan" yang menyebabkan mengapa Semar senantiasa bersedih dan meneteskan air mata, dapat kita temukan jawabannya melalui penerjemahan makna nama lain dari Semar.

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun