Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Adaptasi Mekanisme Kosmis...

19 Mei 2020   10:04 Diperbarui: 20 Mei 2020   04:54 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal tahun 2020 ini dunia diguncang kehadiran virus corona yang mewabah sedemikian luas ke sebagian besar wilayah di bumi. Hingga memasuki minggu ketiga bulan Mei ini, tercatat kasus positif virus corona di dunia mencapai 4,3 juta, dengan angka kematian sebanyak 296.252 orang. (sumber di sini)

Hanya dalam rentang waktu 4 bulan, semangat perlawanan model defensif yang digelorakan WHO dan kepala-kepala negara di dunia, dengan tagline #stayathome dan #workfromhome yang diterjemahkan dalam ratusan bahkan ribuan bahasa di dunia (oleh karena masing-masing negara seperti halnya Indonesia, mencoba mensosialisasikan kampanye tersebut dalam bentuk bahasa daerah agar mudah dipahami masyarakatnya) mulai terlihat tidak diindahkan lagi.

Sinyal yang diberikan WHO bahwa virus Corona kemungkinan tidak akan pernah hilang dan akan ada dalam waktu lama, membuat pemerintah negara-negara di dunia mulai berpikir untuk menerapkan strategi lain. 

Opsi "Tinggal di rumah saja" telah disadari akan menimbulkan dampak negatif lain, terutama di bidang ekonomi, yang jika memburuk, dampak lebih jauhnya bisa berimbas pada bidang sosial dan keamanan.

Saya secara pribadi melihat jika "perhitungan matematis" dalam mengantisipasi pandemi corona tidak lagi semata-mata hanya pada perhitungan probabilitas dengan memunculkan dan menganalisa angka-angka pada matriks. 

Situasi terkini dalam perang semesta menghadapi virus corona, kiranya, mestinya telah menyadarkan kita bahwa ini bukan saja tentang berapa jumlah positif terjangkit, berapa persen jumlah kematiannya, atau seberapa cepat angka-angka itu membuat kurva grafik menukik naik atau melandai dengan mempertimbangkan kepadatan penduduk dan luas geografi, melainkan telah bergeser pada situasi di mana bidang sosial, ekonomi, dan keamanan harus dipertimbangkan sebagai bagian dari faktor-faktor yang mesti dikalkulasi. Dengan kata lain, situasi dunia saat ini menuntut kita untuk lebih memaksimalkan kesadaran holistik.

Dalam situasi di mana faktor sosial, ekonomi, dan keamanan telah menjadi faktor yang mesti diperhitungkan, maka, pandangan filosofis untuk mendasari "langkah-langkah bijaksana" mau tidak mau mestilah dikedepankan.

Dalam perhitungan holistik, yang bisa dikatakan merupakan adaptasi pada mekanisme kosmis, beberapa hal mesti "dikorbankan", dan kita harus berdamai dengan situasi itu.

Agar lebih mudah memahami, kita dapat melihat cerminan situasi itu pada sebuah permainan catur. Dan terkait penyamaan analogi kehidupan dengan permainan catur, saya pikir tidak perlu diperdebatkan layak atau tidaknya, yakinlah, hidup ini pada dasarnya memang sebuah permainan sandiwara brader... :)

Dalam permainan catur, memang ada saat di mana kita harus mengorbankan sesuatu untuk mempertahankan sesuatu lainnya yang lebih diprioritaskan, yang ironisnya, langkah itu mungkin demi semata-mata memperpanjang "durasi waktu permainan" yang pada akhirnya tetap menempatkan kita pada posisi pihak yang kalah. 

Pada saat lainnya, yang sebelumnya berhasil pun, akan pula berada di posisi yang kalah dan harus meninggalkan "papan permainan". 

Demikianlah seterusnya mekanisme kehidupan di dunia ini berlaku seperti sebuah permainan dalam papan catur.

Apa pun itu, saya pikir tidak masalah siapa yang lebih dahulu kalah dan meninggalkan papan permainan, karena pada akhirnya,  papan catur ini akan dibongkar juga kok bro sama pemilik-Nya.... this life will definitely end ... :) 

***

Pada tulisan saya sebelumnya ( "Adaptasi Kreatif" dalam Merespon Pandemi Covid-19 ) telah saya ulas bagaimana dalam situasi sulit seperti sekarang ini, kita diharapkan dapat melahirkan tindakan-tindakan adaptasi kreatif sebagai bentuk respon terbaik.

Salah satu konsep adaptasi kreatif yang saya anggap paling relevan untuk dapat survive pada saat ini dan terutama pada masa-masa mendatang, adalah pengembangan konsep kemandirian lokal. 

Saya pikir, jika pun pemerintah berniat mengganti slogan kampanye dari #DiRumahSaja menjadi #HidupBerdamaiDenganCorona sebagai bentuk adaptasi terhadap situasi sulit ini, maka, mungkin sebaiknya pengembangan sistem kemandirian lokal mulai pula turut dipertimbangkan. 

Konsep kemandirian lokal tersebut dapat dibagi dalam beberapa cluster menurut jenisnya. Misalnya kemandirian lokal berbasis pangan dalam cluster lingkup kecamatan, sementara kemandirian lokal berbasis bahan bakar dan energi dalam cluster lingkup kabupaten. 

Bahan bakar seperti bioetanol dan sumber energi dari tenaga air, angin, dan matahari dapat dipertimbangkan disesuaikan dengan wilayah di mana konsep itu ingin diterapkan.

Dengan membangun kemandirian lokal seperti ini, situasi lockdown sampai berapa lama pun Insya Allah dapat dihadapi. 

Sekian. Semoga bermanfaat. Salam.

Bagi yang berminat membaca tulisan saya lainnya, bisa melihatnya di sini: kompasiana.com/fadlyandipa
Fadly Bahari, Pare-Kediri, 19 Mei 2020

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun