Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Adaptasi Kreatif" dalam Merespon Pandemi Covid-19

4 April 2020   19:51 Diperbarui: 5 April 2020   08:15 1102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pandemi Covid-19 menuntut manusia untuk memunculkan suatu bentuk solusi adaptasi berdasarkan kemampuan kreativitas yang dimiliki.| Sumber: www.chicagotribune.com

Pandemi Covid 19 bukanlah kontak pertama kali umat manusia dengan wabah penyakit menular. Telah ada sejumlah peristiwa epidemi dan pandemi yang signifikan, yang tercatat dalam sejarah manusia.

Di antaranya, Wabah Athena, yang berlangsung dari tahun 430 hingga 426 SM, yaitu selama Perang Peloponnesia. Ini adalah wabah demam tifoid yang menewaskan seperempat pasukan Athena dan secara fatal melemahkan dominasi Athena (Ancient Athenian Plague Proves to Be Typhoid - By. David Biello on January 25, 2006).

Wabah Hitam (The Black Death) adalah wabah pes atau Sampar, adalah pandemi yang tercatat paling menghancurkan dalam sejarah manusia. Menewaskan sekitar 75 juta orang, menurut beberapa perkiraan, termasuk hingga 50% dari populasi Eropa yang terkena dampak (Black death 'discriminated' between victims - Will Dunham ABC/Reuters, 29 January 2008).

Sejarawan bahkan berpendapat jika wabah hitam menciptakan sejumlah pergolakan agama, sosial, dan ekonomi, dengan efek mendalam pada perjalanan sejarah Eropa.

Flu Spanyol, yang berlangsung antara tahun 1918 hingga 1920, menginfeksi 500 juta orang di seluruh dunia (1918 Influenza: the Mother of All Pandemics - Jeffery K. Taubenberger and David M. Morens).

Selain yang telah disebutkan di atas, tentunya masih banyak lagi peristiwa epidemi atau pun pandemi yang juga pernah terjadi dalam sejarah umat manusia, dengan korban jiwa yang juga sangat banyak dan disebabkan beragam penyakit seperti kolera, typhus, malaria, demam kuning, dan lain sebagainya.

Namun bisa dikatakan jika pandemi Covid-19 kini merupakan krisis pandemi dengan jangkauan wilayah penyebaran terbesar yang terekam dalam sejarah manusia, yang menurut data terbaru di Worldometers telah menjangkiti 206 negara.

Adaptasi sebagai respon alami terhadap suatu krisis
Dalam kehidupan ini, kita dapat melihat dan belajar bahwa banyak situasi krisis yang terjadi yang kemudian direspon secara alami sebagai wujud adaptasi terhadap situasi tersebut.

Pada tumbuhan, pohon jati yang meranggas di musim kemarau adalah wujud adaptasi dari krisis kekurangan air di musim kemarau. 

Pada hewan, unta yang hidup di daerah padang pasir yang kering dan gersang, telah melakukan adaptasi morfologi untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekitarnya, yaitu dengan adanya tempat penyimpanan air di dalam tubuhnya, serta punuk sebagai penyimpan lemak.

Pada manusia, sebenarnya sangat banyak hal yang dapat kita lihat sebagai wujud adaptasi manusia terhadap krisis yang pernah terjadi. 

Biasanya, seiring berjalannya waktu, adaptasi perilaku manusia terhadap krisis yang pernah terjadi akan bertransformasi menjadi sebuah wujud budaya atau tradisi.

Hal ini misalnya dapat kita lihat pada fenomena tradisi pemakaman orang Toraja yang menempatkan jenazah di dalam sebuah peti kayu berbentuk perahu kemudian menempatkannya di atas ketinggian tebing sebuah gunung.

Dalam pandangan saya, bisa jadi merupakan wujud adaptasi dari pengalaman traumatis orang-orang Sulawesi di masa kuno terhadap peristiwa banjir bah di masa nabi Nuh, yang dalam beberapa tradisi agama diriwayatkan bahwa pada saat itu, nabi Nuh juga menyelamatkan jasad nabi Adam ke dalam bahteranya.

Bentuk adaptasi yang tepat untuk pandemi Covid-19
Terhadap krisis pandemi Covid-19 yang kini sedang berlangsung, kita pun telah memberi respon. Lockdown, social distancing, physical distancing, ataupun work from home, menjadi istilah yang paling banyak dibicarakan, yang pada dasarnya merupakan strategi upaya memutus mata rantai penyebaran virus.

Tapi kesemua upaya itu belumlah cukup untuk dapat disebut sebagai sebuah wujud adaptasi. Kita sebagai makhluk sosial, tentunya tidak bisa selamanya menerapkan hal semacam itu dalam kehidupan. 

Pun, jika adaptasi didefinisikan sebagai suatu kemampuan dari makhluk hidup untuk bisa menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, dengan tujuan untuk bertahan hidup, maka tentu saja kita mesti sepakat untuk tidak sekadar bertahan hidup dengan mengorbankan sisi-sisi humanis kita misalnya, manusia sebagai makhluk sosial. Karena itu, tindakan seperti social distancing tentunya bukanlah wujud adaptasi yang kita inginkan.

Selain sebagai makhluk sosial, manusia juga adalah makhluk yang dianugerahi kemampuan kreativitas. Kapasitas kreatif adalah ciri khas spesies kita.

Kreativitas dalam perspektif asas manfaat dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan solusi baru untuk suatu masalah, yang tentu saja mencakup kemampuan untuk melihat kepentingan dunia dalam upaya penyelesaian masalah. 

Bertitik tolak dari pemahaman di atas, maka, dalam situasi menghadapi krisis pandemi Covid-19, kita sebagai makhluk sosial, sekaligus sebagai bagian dari komunitas global, haruslah memunculkan suatu bentuk solusi adaptasi berdasarkan kemampuan kreativitas yang kita miliki, yang mana solusi tersebut mestilah harus didasari atas tinjauan kepentingan dunia, yaitu kita semua sebagai bagian dari masyarakat global.

Mewujudkan adaptasi kreatif yang diperlukan
Instruksi social distancing, physical distancing, ataupun work from home, yang menjadi kampanye global dalam menghadapi pandemi Covid-19, yang penyebaran informasinya berkali-kali lipat lebih masif dibandingkan pandemi Covid-19 itu sendiri, harus diakui telah berhasil memunculkan kepanikan dan kecemasan sebagai suatu bentuk pandemi penyakit psikis tersendiri.

Bisa dikatakan, situasi kepanikan dan kecemasan yang mewabah dalam masyarakat global sekarang ini adalah pelajaran berharga bagi kita untuk melihat bahwa seperti inilah efek nyata dari penerapan praktik pengendalian yang ketat, yang selama ini merupakan sistem yang akrab digunakan di dunia modern.

Praktik pengendalian ketat yang merupakan serangkaian upaya mekanistis yang disusun secara sistematis untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, pada dasarnya akan senantiasa berjalan seiring sekaligus memanfaatkan aspek traumatis pada manusia, sehingga pada tataran tertentu hal ini dapat kita lihat sebagai praktik membangun sistem traumatik.

Terkait dengan pemahaman ini, Prof. A. Mappadjantji Amien dalam ikhtisarnya pada buku "Kemandirian Lokal - Konsepsi Pembangunan Organisasi, dan Pendidikan dari Perspektif Sains Baru" mengatakan bahwa konsep "kemandirian lokal" adalah sebuah pendekatan yang menunjukkan bahwa pembangunan lebih tepat bila dilihat sebagai proses adaptasi-kreatif suatu tatanan masyarakat. 

Pendapat ini logis dan sangat menarik untuk dipertimbangkan sebagai sebuah paradigma baru.

Secara holistik, konsep ini setidaknya dapat mengarahkan kita melihat krisis pandemi Covid-19 sebagai momentum introspeksi, bahwa mungkin sudah saatnya kita berpikir untuk memulai mendesain hidup yang lebih kontemplatif.

Sekian. Semoga bermanfaat. Salam.

Bagi yang berminat membaca tulisan saya lainnya, bisa melihatnya di sini: kompasiana.com/fadlyandipa
Fadly Bahari, Pare-Kediri, 4 April 2020 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun