Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Peran Kerajaan Fiktif sebagai "Simpul Massa" dalam Kontestasi Politik

21 Januari 2020   21:00 Diperbarui: 21 Januari 2020   21:13 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: Kompas.com)

Fenomena kemunculan kerajaan fiktif sebenarnya telah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir. Bukan cuma di Jawa, di Sulawesi pun sebenarnya terjadi hal tersebut. Dan bisa jadi di berbagai wilayah Indonesia lainnya.

terkhusus di Sulawesi Selatan sebagai tempat tinggal saya, hal ini saya amati telah mulai terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Biasanya kerajaan yang baru muncul tersebut memang memiliki latar belakang keluarga bangsawan. 

Dan karena itu, mereka memiliki rumpun keluarga besar yang terdiri dari sanak keluarga dan keluarga yang memang sejak dahulu ikut (katakanlah sebagai pelayan atau pekerja) di keluarga bangsawan tersebut. Tapi pada dasarnya mereka tidak memiliki sejarah sebagai sebuah kerajaan pada masa lalu.

Biasanya keluarga bangsawan semacam ini merupakan tuan tanah di suatu wilayah, yang mengabdi pada kerajaan setempat, yang mana kesejarahan kerajaan tersebut yang dapat ditelusuri memang pernah ada di wilayah tersebut.

Pada tahun 2017 misalnya, di Toraja sempat terjadi hal ini. Yang akhirnya berujung dengan dijatuhkannya sanksi adat kepada pelaku karena dianggap telah melanggar adat istiadat Toraja, seperti mengklaim diri sebagai Ketua Pemangku Adat Raja Tana Toraja To Matasak XIX, serta pula dianggap melecehkan tatanan adat istiadat Toraja, yang memang sejak dahulu kata tidak pernah mengenal Raja atau Kerajaan. 

Dugaan tujuan mendirikan kerajaan fiktif

Saya melihat fenomena bermunculannya kerajaan-kerajaan fiktif dalam beberapa tahun terakhir ada kaitannya dengan kontestasi politik yang secara rutin digelar di Indonesia, baik itu di tingkat nasional, Provinsi, maupun tingkat kabupaten/kota.


Kita ketahui, dalam kontestasi politik seperti pemilihan presiden, pemilukada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, hingga pemilihan anggota legislatif di semua jenjang, perlombaan menarik dukungan massa terjadi begitu sengit.

Dalam situasi tersebut, organisasi apa pun bentuknya selama memiliki "simpul massa" yang banyak, pasti akan dilirik dan besar peluang menjadi mitra pelaku politik. Dan dari kerjasama tersebut, pemilik "simpul massa" berpotensi mendapatkan keuntungan finansial yang besar. 

Besarnya anggaran politik yang berputar dalam setiap kontestasi politik, sangat menggiurkan. Ini yang mendorong beberapa pihak tertentu untuk mulai merintis simpul massanya. Di Daerah, simpul massa tradisional yang mudah dirintis tentunya adalah ikatan adat istiadat, dan ikatan adat istiadat yang memiliki prestise tersendiri tentunya adalah bentuk "kerajaan".

Jadi, bisa dikatakan menjamurnya "kerajaan fiktif" dalam beberapa tahun belakangan ini, merupakan salah satu ekses dari gelaran kontestasi politik di Indonesia yang dimulai pasca reformasi.

Bahkan jika kita mau jeli mencermati, yang terjadi dalam beberapa tahun ini bukan saja bermunculannya kerajaan fiktif tapi juga terjadinya dualisme dalam lembaga adat (kerajaan, kedatuan ataupun kesultanan). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun