Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Formula Kunci Mengurai Sejarah

16 Februari 2019   07:14 Diperbarui: 16 Februari 2019   11:51 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
La Galigo, palmleaf on scroll (sumber: Leiden University Libraries)

Sebagian dari pembaca mungkin sudah mengetahui apa itu aksara Brahmik atau aksara Abugida. Yaitu sistem penulisan segmental di mana urutan konsonan-vokal ditulis sebagai satu unit: setiap unit didasarkan pada huruf konsonan , dan notasi vokal adalah sekunder. Ini berbeda dengan sistem alfabet, di mana vokal memiliki status yang sama dengan konsonan. 

Dalam ilmu linguistik, aksara Brahmik biasanya disebut juga aksara syllable karena pada dasarnya wujud yang diwakili satu symbol aksara Brahmik adalah suatu unit "suku kata".

Yang menarik dari perbedaan sistem aksara Brahmik dengan sistem alphabet adalah jika dalam aksara brahmik inti unit syllable adalah konsonan sementara vokal adalah sekunder, maka dalam sistem alphabet, inti unit suku kata paling sering adalah sebuah vokal (walaupun tidak selamanya) dengan margin awal dan akhir opsional (biasanya, konsonan).

Etimologi syllable dikatakan berasal dari Anglo-French, merupakan perubahan dari kata "silabel" Perancis Kuno, dari "silaba" Latin, dan dari Yunani "syllavy" yang bermakna "diambil bersama" atau arti harafiahnya "disatukan". Dalam bahasa tae' (di Sulawesi selatan) terdapat kata silapi' yang artinya "saling berlapis" atau "saling melapisi". 

Tentu saja kata silapi' dalam bahasa tae ini terlihat sangat memiliki kesamaan dengan kata "syllavy" dari bahasa Yunani. Untuk fenomena kesamaan leksikon bahasa Yunani dan bahasa tae' di Sulawesi selatan saya telah melakukan penelusuran dan sejauh ini telah mendapatkan setidaknya puluhan leksikon atau kosa kata yang sama.

Etimologi Aksara; dari kata Sanskrit "aKSara" : a = tidak; KSara = mencair - binasa - berhamburan. Jadi, Aksara bisa dimaknai "tidak mencair", "tidak binasa" atau pun "tidak berhamburan". Dalam bahasa tae' sendiri, sara' atau sarak berarti "pisah" (tisara' atau tisarak = terpisah. Imbuhan ti dalam bahasa tae' sama dengan imbuhan ter dalam bahasa Indonesia). Untuk makna Aksara tersebut, saya yakin leluhur di masa lalu memiliki pemahaman filosofis tersendiri.

Hal menarik lainnya dari aksara Brahmik adalah susunan umum pengelompokan unitnya telah disesuaikan dengan konsep fonetik artikulatoris. Inilah yang secara intuitif saya lihat sebagai suatu pesan yang dititipkan orang-orang terdahulu kepada kita generasi sekarang.

Suatu "pesan yang tak dijelaskan" fungsinya secara eksplisit, menunggu kita untuk mencermatinya. Ini akan kita ketahui fungsinya setelah kita sadari bahwa morfologi atau perubahan bentuk fonetis suatu kata umumnya terjadi diantara fonetis yang ada di dalam kelompok fonetik artikulatoris yang sama. (lihat pada gambar di bawah).

Susunan umum aksara Lontara Bugis dan pembagian kelompok menurut fonetik artikulatoris (dokpri)
Susunan umum aksara Lontara Bugis dan pembagian kelompok menurut fonetik artikulatoris (dokpri)
Walaupun tidak sepenuhnya tepat, tapi susunan umum aksara Brahmik seperti aksara Lontara Bugis telah menunjukkan pola pembagian menurut artikulatoris.

Jika dibandingkan dengan pengelompokan yang pada umumnya, seperti dalam artikel Gerard Huet "Heritage du Sanskrit Dictionnaire sanskrit-francais", maka terlihat sedikit ada perbedaan.

ka - ga - nga - ngka (guttural)
pa - ba - ma - mpa (labial)
ta - da - na - nra (dental)
ca - ja - nya - nca (palatal)
ya - ra - la - wa (semivowel)
sa - a - ha (Sibilant)

Para ahli umumnya memasukkan fonetik s kedalam kelompok sibilant (fonetik desis), tapi saya melihatnya Approximant (hampir) ke kelompok palatal. Contoh perubahan fonetik di lapangan pun memperlihatkan hal itu. Contoh: azab - ajab - asab. 

Lalu, mengenai pengelompokan semivowel: ya - ra - la - wa dalam artikel Gerard Huet, memang sudah benar, tapi bahwa ya Approximant ke palatal, ra Approximant ke dental, la Approximant ke dental, dan wa Approximant ke labial, saya pikir juga merupakan pendapat yang sudah benar.

Saya melihat bahwa sebagian besar perubahan fonetik umumnya terjadi di antara fonem yang terdapat dalam satu kelompok yang sama. Dan inilah salah satu metode yang saya gunakan dalam mencermati morfologi bahasa. Adapun penggunaan metode ini, dapat saya beri contoh sebagai berikut...

Katakanlah saya ingin mencari tahu asal usul toponim Bada di Sulawesi tengah. Informasi umum yang telah saya ketahui bahwa ia adalah nama lembah dimana terdapat sebaran objek megalitik. 

Untuk mencari tahu lebih jauh, saya memulainya dengan terlebih dahulu meninjau bentuk lain toponim tersebut menurut perubahan fonetik. Dan hasilnya sebagai berikut: bada - mada - pada - wada - bana - mana - pana - wana - bata - mata - pata - wata - bara - mara - para - wara - bala - mala - pala - wala.

Karena toponim ini adanya di pulau Sulawesi tepatnya di Sulawesi tengah, yang mana menurut informasi dari para antropolog merupakan wilayah Luwu di masa lalu, maka selanjutnya, saya mengidentifikasi semua bentuk kata yang telah tersedia, yang memiliki kemungkinan sebagai bagian dari bahasa tae'. Hasilnya adalah: pada - bara - para - wara. Hasil seleksi ini selanjutnya dianalisa maknanya. Yaitu sebagai berikut:

PADA: dalam bahasa tae', pada artinya "sama". Terkadang kata pada disebut juga para (perubahan fonetik d dan r. contoh: datu = ratu, karatuan = kadatuan, kdaton = kraton, dsb). Makna pada yaitu "sama", punya nilai tersendiri, dikarenakan "sama" merupakan nama suku bajoe yang dalam beberapa literature dinyatakan berasal dari Sulawesi (khususnya bugis).

BARA: dalam bahasa tae' dan bahasa Indonesia dimaknai sebagai: barang sesuatu (arang) yang terbakar dan masih berapi (sumber: KBBI). Dalam konsep makro kosmos bara mewakili unsur api yang berada di lapisan inti. Susunan makro kosmos (bumi) yaitu: udara - air - tanah - api.

Bara juga adalah salah satu nama suku di lembah Brahmaputra yang mendapat perhatian L. A. Waddell, yang ia bahas dalam tulisannya Wild Tribe of the Brahmaputra Valley. tulisan ini pertama kali dipublish pada tahun 1901. 

Pada cetakan tahun 2000, pada bagian yang membahas suku ini, ia menulis... 

"KACHARI, Kosari, Boro and Bodo, or Bara - KACHARI adalah Nama yang tepat untuk Mongoloid semi-Hinduised besar ini. Suku yang terselimuti dalam banyak ketidakjelasan. Buchanan Hamilton menunjukkan bahwa mereka menyebut diri mereka Boro atau Bodo, tetapi Mr. Endle dalam tata bahasa lengkapnya tentang dialek suku menyatakan bahwa ini hanyalah bentuk bahasa Assam dari kata India untuk "Besar," sehingga karenanya saya lebih suka menggunakan istilah "Kachari" untuk menamai suku ini. (...) Orang-orang Kacharis ditemukan terutama di Lembah Brahmaputra, di distrik Kamrap, Goalpara, Darang." 

Hal yang cukup menarik dari tulisan dari L. A. Waddell ini adalah, Selain memperlihatkan adanya nama "Bara" digunakan oleh suku di lembah Brahmaputra, juga mengenai nama "kachari" yang berarti "besar" dalam bahasa bahasa Assam. 

Saya melihat ini ada kaitannya dengan kata "kasalle" yang dalam bahasa tae' juga artinya "besar". Kata "kachari" dan "kasalle" akan terlihat keterkaitannya ketika kita menerapkan metode identifikasi perubahan fonetik yang tengah kita bahas ini.

Mengenai hubungan Nusantara dan Assam, Pada tahun 1848, J. R. Logan dalam karangannya Customs Common th the Bill Tribes Bordering on Assam and Those of the Indian Archipelago yang termuat dalam Journal of the the Indian Archipelago and Eastern Asia, mengemukakan saran bahwa bangsa Indonesia itu berasal dari Assam di Asia Tenggara. 

Pendapat tersebut didasarkan atas kesamaan kebiasaan antara beberapa suku di Sumatra dan Kalimantan dan suku Naga di Assam. Adat memotong kepala dan mencatat kulit pada orang Naga sama dengan adat orang Dayak di Kalimantan. 

Demikian pula mengenai perumahan bujang dan perhiasan. Tetapi ia masih ragu-ragu mengenai pendapatnya ini. Ia masih membuka kemungkinan lain. Mungkin teori-teori yang juga benar, katanya.

PARA: sebagaimana telah diurai di atas, para adalah bentuk lain dari pada. Pada dasarnya, keduanya sinonim.

WARA: di Kedatuan Luwu, Wara merupakan terminologi pusat kerajaan atau pusat pemerintahan. Merupakan inti - yang dengan demikian memiliki keterkaitan dengan konsep makro kosmos bara (unsur api) sebagai inti elemen.

Dari seluruh hasil analisa ini, dapat dibangun suatu hipotesa - yang kira-kira sebagai berikut:

Bada kemungkinan merupakan pusat Kedatuan Luwu jauh di masa lalu. Terdapatnya toponim loeo dan pada di kawasan itu menguatkan dugaan ini.

Morfologi toponim bada - pada, lalu, pada = sama; mempertegas asal suku Bajoe atau orang sama berasal dari Luwu.

Dan seterusnya.

Demikianlah sekelumit penjelasan secara sederhana mengenai penerapan metode identifikasi morfologi bahasa melalui pengamatan perubahan fonetik. Karena uraian ini hanya sebatas contoh maka saya tidak memasukkan data-data pendukung hipotesa lainnya. Yang jika saya masukkan akan sangat banyak dan merusak fokus pembahasan ini. 

Salah satu tinjauan yang lebih jauh, misalnya, adalah pengamatan apakah leksikon atau kosakata tersebut memiliki ciri khas bahasa bangsa maritime atau bangsa pelaut, di mana setiap suku kata berakhir dengan vokal, sebagaimana yang diungkap John Inglis (seorang misionaris asal Skotlandia yang melakukan perjalanan ke Vanuatu antara tahun 1850-1877), bahwa ciri bahasa melayu adalah setiap suku kata berakhir dengan vokal.

Hal ini dimungkinkan oleh karena ketika berbicara di tengah laut, para pelaut mesti berbicara dengan suara keras untuk mengatasi kerasnya suara deburan ombak. Suku kata yang berakhir konsonan cenderung menjadikan pelepasan suara menjadi tidak maksimal. 

Ciri lain dari bahasa bangsa pelaut adalah cenderung menggunakan tanda petik (diakritik) diakhir kata, yang memberikan fasilitas menguatkan otot artikulator (alat ucap) untuk meneriakkan kata atau kalimat.

Demikianlah pembahasan Formula kunci mengurai Sejarah bagian ke-1 ini. Semoga bermanfaat. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun