Mohon tunggu...
Fadlir Rahman
Fadlir Rahman Mohon Tunggu... Lainnya - Pemuda dalam krisis yang suka membaca, sedikit menulis, banyak ngegamenya

Menulis opini tentang apapun, terutama peristiwa sosial, media, dan sedikit politik.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Wadah Kemerdekaan Kering dari Ideologi

27 Agustus 2020   04:47 Diperbarui: 27 Agustus 2020   04:55 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Keriuhan perayaan kemerdekaan di tahun ini seperti kurang rasanya. Pandemi ini, membuat kita tak mampu berbuat banyak seperti biasa. Namun momen inilah yang justru seharusnya dimanfaatkan untuk refleksi pada apa yang selalu kita agung-agungkan dan teriakkan: merdeka.

Tanpa mengesampingkan perjuangan menggunakan senjata, kita tentu tahu bahwa kemerdekaan dan revolusi Indonesia terwujud melalui perundingan-perundingan panjang, baik dengan pihak lawan maupun kawan.

Di dalam perundingan itu pasti terjadi adu argumen. Dan di dalam argumen-argumen yang beradu tersebut, muncul dari ideologi yang dimiliki oleh beliau-beliau, para pahlawan kita.

Kemerdekaan dan revolusi ini memiliki arti dan makna yang berbeda-beda bagi setiap rakyat pada saat itu. Bahkan pimpinan-pimpinan tertinggi Republik, mengartikannya secara berbeda. Sjahir menggambarkan revolusi sebagai perjuangan kehidupan dan nasib rakyat yang lebih baik. Sementara menurut Ir. Soekarno, kemerdekaan adalah berdikari dalam politik, ekonomi, dan identitas.

Itu menurut petinggi Republik. Berbeda lagi dengan rakyat akar rumput yang tak lepas dari gerakan pemuda. Seperti yang dituliskan Soe Hok Gie dalam Orang-Orang di Pesimpangan Kiri Jalan, bahwa bagi pemuda-pemuda Indonesia pada umumnya, kemerdekaan memiliki arti lebih luas daripada kemerdekaan bangsa, kedaulatan Negara, dan kemerdekaan ekonomi. Bagi mereka, kemerdekaan merupakan pembaruan atas segala nilai hidup.

Meskipun berbeda pandangan atau ideologi, paling tidak kemerdekaan memiliki sebuah arti. Bahkan di tahun-tahun awal kemerdekaan, konflik sering terjadi karena perbedaan tersebut. Tapi jangan dilihat dari konfliknya, kita harus lebih optimis dalam menilai itu semua.

Pesimis, kita persembahkan untuk saat ini saja, saya kira. Sebab setinggi partai politik pun dengan segala fasilitas dan massanya, jika kita lihat dari wakilnya di pemerintahan, ya hanya begitu-begitu saja. Tak ada gerakan yang mencirikan ideologi partai. Semua hanya untuk kepentingan pemenangan pemilu.

Kemunculan partai dan organisasi pada awal kemerdekaan dari beragam golongan adalah bukti nyata betapa berkualitasnya masyarakat kita saat itu. Mulai dari kaum nasionalis, agama, sosialis, buruh, tani, wanita, mahasiswa, pelajar, dan lain-lain. Semua merasa memiliki tangggung jawab untuk menyelamatkan kemerdekaan. Meskipun menurut ideologinya masing-masing.

Bahkan Pramoedya Anana Toer, sastrawan yang hidup di zaman itu, menggambarkan situasi tersebut di salah satu cerpennya yang dibukukan dalam Cerita dari Blora dengan menuliskan, “Di waktu seperti itu gelombang gila politik mengamuk pula. Tiap orang rasa-rasanya tak bisa hidup bila tak bepolitik, tak debat tentang politik. Ya, seakan-akan mereka bisa hidup dengan tiada beras lagi.”

Meski digambarkan dengan sinis, namun bisa kita bayangkan betapa ingar bingar ideologi yang sungguh waras dan akademis. Tidak kering, berisi, dan ada gregetnya.

Berbeda dengan apa yang kita rayakan sekarang, saat hari kemerdekaan tiba. Padahal menurut filsuf bernama Louis Althusser, ideologi dibutuhkan oleh semua kelompok sosial untuk membentuk dan mengubah manusia agar dapat berperilaku sesuai pondasi dan posisi sosial mereka.

Semakin dewasa umur kemerdekaan, ia hanya sekadar perayaan kosong di setiap bulan agustus. Karnaval-karnaval lebih ramai dan meriah daripada kursus-kursus atau forum diskusi. Kostum dan slogan lebih laku dan dipakai daripada ideologi. Lomba-lomba yang tak berarti lebih sering diadakan daripada lomba yang menggunakan potensi utama manusia yaitu akal.

Rasa-rasanya lebih penting siapa lebih cepat menghabiskan kerupuk yang tergantung atau memasukkan pensil ke dalam botol daripada siapa yang bisa menyumbangkan isi kepalanya untuk mengisi wadah kemerdekaan.

Pernah suatu ketika, di kampung saya ada kegiatan KKN dengaan tema kepustakaan dari salah satu universitas di Purwokerto. Kebetulan saat itu bulan agustus, dimana gegap gempita kemerdekaan sedang terjadi.

Jika dinilai dari tema kegiatan mereka, seharusnya mereka lebih fokus melakukan kegiatan di bidang kepustakaan. Seperti melakukan edukasi tentang budaya literasi, pengadaan buku-buku untuk bacaan warga, atau melakukan lomba di bidang itu.

Bukan hanya membantu tenaga warga di sini melakukan kegiatan yang sudah kami rancang. Karena kami sudah cukup, tanpa mengurangi rasa terima kasih untuk mereka atas bantuannya. Tapi, katanya agent of change?

Semua itu memanglah tidak salah. Namun hal itulah yang membuat saya semakin bertanya-tanya, sudahkah kita merdeka sejak dalam pikiran? Sudahkah pembaruan sama sekali pada setiap nilai diusahakan?

Cita-cita kemerdekaan yang berdikari seperti impian Bung Karno, atau nasib rakyat yang lebih baik seperti diinginkan Sjahrir, atau pembaruan atas segala nilai kehidupan seperti harapan para pemuda dulu, rasa-rasanya masih jauh dari kata “tercapai”.

Tapi dengan optimis, saya yakin bahwa keadaan ini akan lebih baik nantinya ketika seluruh pihak yang berkuasa dan memiliki pengaruh, benar-benar berganti ke generasi yang sama sekali baru. Sebab kemerdekaan berasal dari kepala yang berisi konsep baru yang, belajar dari sejarah dan bukan meneruskan sejarah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun