Pada Mei 1808, Daendels mengerahkan ribuan tenaga kerja pribumi, khususnya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, untuk membangun jalan tersebut. Orang Jawa Barat tidak ikut serta karena mereka ditugaskan khusus untuk menanam kopi, komoditas yang sangat bernilai di Eropa saat itu. Pembangunan jalan dilakukan bertahap. Tahap pertama dimulai dari Anyer menuju Bogor, dimana para pekerja lebih banyak membenahi jalan yang sudah ada tapi rusak parah, bukan membangun jalan baru secara penuh. Ada juga sumber yang mengatakan bahwa pada tahap ini jalan-jalan kecil disambungkan menjadi jalan raya besar.
Setelah tahap pertama selesai, pembangunan dilanjutkan ke tahap kedua dari Bogor menuju Surabaya. Tahap kedua pembangunan jalan Anyer-Panarukan dari Bogor sampai Surabaya sangat berat karena harus membangun jalan dari nol, melewati hutan lebat. Para pekerja harus menebang dan membersihkan hutan terlebih dahulu sebelum membangun jalan. Setelah melewati berbagai kota seperti Sukabumi, Bandung, Cirebon, Semarang, sampai akhirnya Surabaya, tahap kedua ini selesai.
Awalnya, Daendels hanya merencanakan sampai Surabaya saja. Namun, setelah melihat potensi komoditas penting seperti gula dan ikan nila di Panarukan, serta khawatir jika Inggris menyerang lewat jalur selat samudra (selain Selat Sunda), Daendels memutuskan memperpanjang proyek sampai Panarukan.
Pada September 1808, Daendels mulai tahap ketiga dari Surabaya ke Panarukan. Untuk tahap ini, dia menugaskan Gubernur wilayah timur, Fred Rotenbahler, sebagai penanggung jawab. Akhirnya, mega proyek jalan sepanjang sekitar 1.100 km ini selesai dalam waktu hanya 3 tahun.
Dalam proses pembangunan jalan Anyer-Panarukan, para pekerja menghadapi banyak hambatan. Pembangunan sempat terhenti di Sumedang karena kondisi alam yang sulit ditembus. Daendels sampai harus mendatangkan tenaga militer untuk membantu para pekerja. Kemudian di Semarang mereka menemui wilayah rawa-rawa yang harus dikeringkan dan diuruk secara tradisional tanpa alat berat. Ribuan pekerja jatuh sakit akibat kelelahan dan kelaparan, namun pembangunan tetap dipaksa dilanjutkan. Hambatan selanjutnya yaitu di madiun berupa perlawanan dari Bupati Madiun, Raden Rangga, yang memimpin pasukan melawan pembangunan jalan karena merasa terancam dan menganggap proyek ini merendahkan martabat rakyat. Daendels mengerahkan pasukan untuk melawan balik dan akhirnya pemberontakan berhasil dipadamkan. Setelah mengatasi berbagai hambatan ini, pembangunan jalan akhirnya selesai di Panarukan pada tahun 1811.
Pembangunan Jalan Raya Pos dari Anyer hingga Panarukan menjadi proyek ambisius yang menuai pro dan kontra tajam di kalangan masyarakat dan sejarawan. Di satu sisi, proyek ini dipandang sebagai langkah strategis Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels untuk memperkuat pertahanan militer dan mempercepat jalur komunikasi serta distribusi pemerintahan kolonial di Pulau Jawa. Namun, di sisi lain, proyek ini juga dianggap sebagai tragedi kemanusiaan karena melibatkan kerja paksa (rodi) yang berat dan tak manusiawi. Banyak narasi menyebutkan bahwa pembangunan jalan ini menyebabkan sekitar 12.000 korban jiwa, yang sebagian besar adalah rakyat pribumi yang dipaksa bekerja tanpa imbalan dan dalam kondisi yang sangat buruk. Beberapa kalangan bahkan menyebut peristiwa ini sebagai bentuk genosida atau pembunuhan massal oleh rezim kolonial. Akan tetapi, sejarawan Asvi Warman Adam menyampaikan bahwa angka tersebut belum bisa dipastikan kebenarannya. Ia menjelaskan bahwa data mengenai jumlah korban itu bersumber dari literatur Belanda yang ditulis oleh musuh-musuh politik Daendels, sehingga sangat mungkin telah dilebih-lebihkan atau dimanipulasi untuk menjatuhkan citra Daendels sebagai seorang pemimpin. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk melihat pembangunan Jalan Raya Pos tidak hanya sebagai warisan infrastruktur, tetapi juga sebagai bagian dari narasi sejarah yang kompleks, yang harus dikaji dengan kritis berdasarkan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kerja Rodi atau Ada Upah?
Pembangunan Jalan Raya Pos yang digagas oleh Herman Willem Daendels tidak hanya menjadi proyek infrastruktur terbesar pada masanya, tetapi juga meninggalkan jejak kontroversi yang panjang. Salah satu tuduhan paling menonjol adalah bahwa proyek ini dilakukan dengan sistem kerja paksa atau kerja rodi, yakni mempekerjakan rakyat tanpa upah. Namun, sejarawan Joko Mari Handono dari Universitas Indonesia menyampaikan bahwa sebenarnya Daendels telah mengalokasikan sekitar 30.000 ringgit mata uang Hindia Belanda kala itu untuk membayar para pekerja. Dana ini seharusnya disalurkan melalui para bupati daerah, tetapi diduga kuat mengalami kebocoran karena praktik korupsi, sehingga tidak sampai ke tangan para pekerja. Daendels sendiri menetapkan upah antara 4 hingga 10 ringgit per orang, tergantung kesulitan medan, serta memberikan tunjangan berupa beras dan garam. Sayangnya, tunjangan ini pun diduga tidak diterima oleh para pekerja akibat ulah para pejabat lokal yang menyelewengkan dana.
Kondisi semakin memburuk ketika proyek memasuki wilayah Cirebon dan Daendels kehabisan dana. Dalam situasi genting tersebut, ia mengumpulkan para bupati pesisir utara Jawa dan memerintahkan agar pembangunan tetap berjalan. Daendels bahkan mengancam bahwa jika tenaga kerja tidak tersedia, para bupati harus mempertaruhkan nyawa mereka sendiri. Dalam tekanan ini, para bupati kemudian menggunakan sistem feodal yang berlaku saat itu, di mana rakyat yang tinggal di atas tanah bupati diwajibkan memberikan upeti. Upeti tersebut kemudian diganti dengan tenaga kerja tanpa bayaran untuk membangun jalan, yang secara praktik menjadi kerja paksa terselubung. Rakyat dipaksa bekerja keras tanpa kompensasi yang layak, dan ironisnya, setelah jalan rampung, aksesnya hanya diperuntukkan bagi kepentingan administrasi dan militer Belanda. Rakyat yang membangunnya bahkan dilarang melintasinya.
Barulah beberapa waktu kemudian, kebijakan ini berubah secara bertahap. Pejabat pribumi mulai diizinkan menggunakan jalan tersebut, hingga akhirnya rakyat biasa pun boleh melaluinya. Meskipun manfaat jangka panjang dari proyek ini seperti terciptanya jalur utama Pantura yang masih digunakan hingga kini tidak bisa dipungkiri, tetap saja rasa ketidakadilan membekas dalam sejarah. Ribuan rakyat harus menderita, sebagian bahkan kehilangan nyawa, demi proyek yang manfaat utamanya kala itu lebih dirasakan oleh penjajah. Tak heran jika muncul rasa kecewa dan marah atas perlakuan tersebut, disertai harapan agar kezaliman tersebut mendapat balasan yang setimpal dan pengampunan bagi para korban. Cerita ini menjadi refleksi mendalam tentang pentingnya keadilan dalam pembangunan dan menjadi ajakan untuk berdiskusi, apakah pembangunan Jalan Anyer–Panarukan adalah langkah visioner atau tragedi kemanusiaan yang dibungkus ambisi kolonial?
Kalau aku boleh tanya nih, kamu lebih condong ke sisi pro atau kontra terhadap Daendels dan proyek ini? Atau malah di tengah-tengah, lihat ada plus-minusnya? tulis di kolom komentar pendapatmu ya?