Mohon tunggu...
Fadilla Azfa Asyifa
Fadilla Azfa Asyifa Mohon Tunggu... Mahasiswa Fakultas Hukum UNNES

Saya memiliki ketertarikan dengan isu pemerintahan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Wehea dan Hukum Adat yang Bertahan di Tengah Zaman

5 Juni 2025   20:18 Diperbarui: 5 Juni 2025   20:18 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di pedalaman Kutai Timur, Kalimantan Timur, berdiri sebuah komunitas adat yang tak hanya menjaga tradisi, tapi juga mempertahankan tatanan hukum yang hidup di tengah hutan: masyarakat adat Wehea. Dalam era modern yang sering mengesampingkan nilai-nilai lokal, masyarakat ini justru menunjukkan bahwa hukum adat bukanlah peninggalan masa lalu, melainkan sistem hukum yang hidup, mengatur, dan memberi sanksi secara nyata dalam kehidupan sosial dan ekologis mereka.

Hukum adat Wehea berakar kuat pada prinsip keseimbangan antara manusia dan alam. Hutan bukan hanya ruang ekonomi, tetapi juga spiritual, budaya, dan simbol identitas kolektif. Dengan berpegang pada norma adat, masyarakat melarang penebangan pohon sembarangan, perburuan liar, dan pembakaran hutan. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dikenai sanksi adat yang diputuskan lewat musyawarah bersama, mencerminkan praktik restorative justice berbasis lokal.

Lembaga Adat Dayak Wehea di Desa Nehas Liah Bing menjadi pusat dari keberlanjutan ini. Kepala adat tidak hanya berfungsi sebagai penjaga tradisi, tapi juga sebagai kepala desa sebuah peran ganda yang menggabungkan otoritas adat dan pemerintahan formal. Struktur adat yang lengkap, mulai dari dewan adat hingga penasihat budaya, mengatur berbagai aspek kehidupan: dari hukum pidana ringan hingga pesta adat seperti Lom Plai, yang menjaga warisan budaya tetap hidup.

Dalam menghadapi modernisasi, hukum adat Wehea menunjukkan kemampuan adaptif. Keterlibatan pemuda dan perempuan dalam organisasi Petkuq Mehuey penjaga hutan adat membuktikan bahwa nilai-nilai tradisional dapat berjalan beriringan dengan semangat kesetaraan gender dan pelibatan generasi muda. Patroli hutan, pemantauan biodiversitas, hingga edukasi terhadap pengunjung menjadi bagian dari peran mereka.

Namun, kekuatan sosial dan ekologis hukum adat ini belum sepenuhnya dilindungi secara formal. Proses pengakuan masyarakat hukum adat oleh negara masih menghadapi berbagai kendala administratif dan birokratis. Tanpa pengakuan yang utuh, wilayah adat rentan terhadap tumpang tindih kepentingan, seperti ekspansi perkebunan atau pertambangan. Padahal, hukum adat Wehea telah terbukti menjadi mekanisme konservasi komunitas yang efektif dan berkelanjutan.

Konstitusi Indonesia memang mengakui eksistensi masyarakat hukum adat, tapi pada praktiknya, proses legalisasi hak ulayat dan perlindungan wilayah adat masih bersifat fragmentaris. Di sinilah pentingnya dorongan politik dan kesadaran publik untuk menjadikan hukum adat bagian integral dari tata kelola sumber daya alam nasional.

Wehea memberi pelajaran penting: bahwa hukum adat bisa menjadi solusi ekologis dan sosial di tengah krisis lingkungan global. Dengan tetap menjaga jati diri, komunitas ini menunjukkan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak harus menanggalkan akar budaya. Sebaliknya, nilai-nilai tradisi bisa menjadi pondasi untuk masa depan yang lebih adil, lestari, dan manusiawi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun