Mohon tunggu...
Fadil Isprayogi
Fadil Isprayogi Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Bismillah

Selanjutnya

Tutup

Hukum

MPR (Kembali) sebagai Lembaga Tertinggi Negara?

30 Desember 2019   09:53 Diperbarui: 30 Desember 2019   09:57 1321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada bulan Agustus lalu, muncul wacana untuk mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Kembalinya MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara itu bisa dilakukan melalui Amandemen UUD 1945. Wacana soal kembalinya MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara mengemuka setelah Kongres V PDIP di Sanur, Denpasar, Bali pada 8-10 Agustus 2019. Kongres tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi, terutama di bidang politik dan sistem ketatanegaraan. Salah satunya menyetujui perlunya dilakukan Amandemen terbatas UUD 1945 untuk mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Wacana tersebut pun membuat Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) khawatir. Jusuf Kalla khawatir jika MPR kembali sebagai Lembaga Tertinggi Negara, maka Presiden bisa saja dipilih kembali oleh MPR selaku Lembaga Tertinggi Negara.

Sebelum Perubahan UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut prinsip supremasi MPR. Sehingga, kedaulatan tertinggi yang berada di tangan rakyat dilaksanakan oleh MPR. MPR dikonstruksikan sebagai lembaga penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang berdaulat dengan diisi perwakilan politik (political representation) yakni DPR, perwakilan daerah (regional representation) yakni Utusan Daerah, dan perwakilan fungsional (functional representation) yakni Utusan Golongan. Ketiganya untuk menjamin supaya kepentingan seluruh rakyat yang berdaulat tersebut benar-benar terakomodir dalam keanggotaan MPR, sehingga lembaga yang memiliki kedudukan tertinggi tersebut sah disebut sebagai penjelmaan seluruh rakyat. MPR sebagai pelaku tertinggi kedaulatan rakyat dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan, yaitu "Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.". Sebagai lembaga negara tertinggi, MPR membawahi lembaga-lembaga negara yang lain. Sehingga, Presiden sebagai penyelenggara kekuasaan negara diharuskan untuk tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR. Ini akan menjadi sangat berbahaya jika MPR tidak membawa kepentingan rakyat.

Di samping itu, di mana kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh MPR, hal tersebut justru mereduksi paham kedaulatan rakyat menjadi paham kedaulatan negara, suatu paham yang biasa dianut oleh negara-negara yang menganut paham otoritarian saja.

Pada masa Orde Lama, MPR telah digunakan oleh Presiden Sukarno untuk meneguhkan ideologi Manipol Usdek.

Kekuasaan yang sedemikian besarnya dari MPR dalam praktik ketatanegaraan, sering disalahgunakan oleh Presiden sebagai alat memperbesar kekuasaan Presiden di luar ketentuan UUD 1945, misalnya pemberian kekuasaan tak terbatas kepada Presiden dengan TAP MPR No. V/MPR/1998 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus Kepada Presiden/Mandataris MPR RI Dalam Rangka Penyuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional Sebagai Pengamalan Pancasila. Bahkan Presiden Soeharto pernah mengatakan, mengenai berapa kali seseorang dapat menjabat Presiden sangatlah bergantung pada MPR.

Kini setelah Perubahan UUD 1945, Pasal 1 ayat (2) menjadi berbunyi "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar". Perubahan itu menyatakan bahwa kedudukan MPR tidak lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan tidak lagi memegang kedaulatan rakyat. Perubahan itu juga bertujuan untuk mengoptimalkan dan meneguhkan paham kedaulatan rakyat yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia karena pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh sebuah lembaga negara, yaitu MPR, tetapi melalui cara-cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Rumusan baru tersebut merupakan penjabaran langsung paham kedaulatan rakyat yang secara tegas dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Alinea IV. Gagasan meniadakan kedudukan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara untuk menegaskan bahwa (1) kedaulatan atau kekuasaan tertinggi itu berada dan berasal atau bersumber dari rakyat seluruhnya; (2) kedaulatan rakyat tersebut harus pula diselenggarakan atau dilaksanakan menurut ketentuan UUD itu sendiri; dan (3) organ pelaku atau pelaksana prinsip kedaulatan rakyat itu tidak terbatas hanya MPR saja, melainkan semua Lembaga Negara adalah juga pelaksana langsung atau tidak langsung kekuasaan yang bersumber dari rakyat.

DPR adalah pelaksana kedaulatan rakyat di bidang pembentukan undang-undang, sedangkan Presiden dan Wakil Presiden adalah pelaksana kedaulatan rakyat di bidang pemerintahan negara. Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Badan Pemeriksa Keuangan yang juga dipilih oleh rakyat secara tidak langsung dapat pula disebut sebagai lembaga pelaksana kedaulatan rakyat di bidang tugasnya masing-masing, sehingga harus tunduk dan bertanggungjawab kepada rakyat. MPR tidak lagi berfungsi sebagai 'supreme body' yang memiliki kewenangan tertinggi dan tanpa control.

Dengan perubahan ini, UUD 1945 tidak lagi menganut prinsip supremasi MPR dan sistem pembagian kekuasaan (distribution of power) oleh MPR sebagai lembaga tertinggi ke lembaga-lembaga negara di bawahnya. Perubahan ini mengalihkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari sistem MPR menjadi sistem kedaulatan rakyat yang diatur melalui UUD 1945. UUD 1945-lah yang menjadi dasar dan rujukan utama dalam menjalankan kedaulatan rakyat.

Dengan ketentuan ini, terjadi perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu dari sistem yang vertikal hierarkis dengan prinsip supremasi MPR menjadi horizontal fungsional dengan prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi antarlembaga negara (checks and balances).

Dengan melihat sejarah ketatanegaraan Indonesia, perlukah MPR kembali sebagai lembaga tertinggi Negara? Karena sejatinya, Rakyatlah Lembaga Tertinggi Negara yang sebenarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun