Mohon tunggu...
Fadia Rachmatul Azizah
Fadia Rachmatul Azizah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Antropologi UGM

Inhale sky, exhale stars.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Kritis di Indonesia dan Implementasinya melalui Kurikulum 2013

12 Desember 2020   02:58 Diperbarui: 12 Desember 2020   03:41 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu lalu saudara saya yang duduk di bangku tiga SMP meminta bantuan untuk didampingi menyelesaikan tugas Bahasa Indonesia. Di sana terdapat banyak pertanyaan yang berkaitan dengan jenis-jenis teks, salah satunya teks tanggapan kritis. Seperti biasa, pelajaran Bahasa Indonesia bisa saja membingungkan jika tidak di baca dengan teliti, banyak pernyataan yang hampir mirip dan jawabannya tidak pasti seperti pelajaran eksakta. Cara menentukan teks tanggapan kritis dimaknai oleh saudara saya sebagai pernyataan yang menunjukkan tuntutan atau mengandung hal negatif. Padahal jika diketahui secara luas, kritik bisa juga mengandung unsur positif dan justru membantu kita untuk membedakan mana yang baik dan buruk. Begitu pula dengan pendidikan kritis yang masih banyak dimaknai sebagai pemikiran radikalisme atau mengancam struktur serta sistem yang telah ada. Pengalaman kecil ini membuat saya berpikir kembali tentang bagaimana kata "kritis" masih melekat pada gagasan tentang penolakan dan berkonotasi buruk.

Pendidikan atau pedagogi kritis sendiri menurut pandangan Henry Giroux (salah satu pencetus pedagogi kritis) memiliki tujuan untuk membebaskan peserta didik dalam berpikir, bertanya, dan tidak terikat sistem yang otoriter. "Saya mengenal sejak awal, bahwa pedagogi kritis sebagai praktek moral dan politis melakukan lebih dari sekedar penekanan terhadap analisis kritis dan penilaian moral'' (Giroux, 2011:3). Dari sini kita bisa memahami bahwa pedagogi kritis menawarkan penciptaan pendidikan yang mengarah pada perbaikan, memahami kondisi lingkungan sosial, dan tidak menerima ilmu atau informasi secara mentah-mentah. Selain itu, pedagogi kritis juga menawarkan terciptanya lingkungan yang demokratis dan memperlakukan peserta didik sebagai sebenar-benarnya manusia yang mampu berpikir dan menganalisis. Sehingga peserta didik tidak hanya sebagi penerima ilmu dari guru, melainkan juga mampu menjawab dan menanyakan kembali informasi yang disampaikan oleh guru. Dari sinilah pedagogi kritis diharap mampu membentuk ruang-ruang diskusi aktif dari berbagai arah.

Di Indonesia pedagogi kritis secara eksplisit telah menjadi alasan pembentukan dalam Kurikulum 2013 (K-13) yang mana mengedapankan kemampuan berpikir jernih dan kritis, kemampuan moral, dan kecerdasan sesuai dengan bakat atau minatnya. Saya sendiri sebagai salah satu siswa yang penah menjajal kurikulum ini di masa SMA merasakan langsung perubahan drastis dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP 2006) kedalam K-13. Dimana dalam implementasinya, masih banyak yang jauh dari gagasan atau tujuan awal kurikulum ini dicanangkan. Saya masih mengingat dengan jelas, salah satu guru SMA saya yang mengubah pola pembelajarannya dengan sistem presentasi dan pemahaman materi secara mandiri oleh siswa. Ketika banyak teman saya mengeluh karena jangankan mempresentasikan materi, mengerti maksud materi saja belum. Guru saya justru menjawab bahwa ini adalah proses belajar yang diharuskan dalam K-13 agar siswa lebih banyak aktif di kelas dan mandiri belajar. Dari sini saya kemudian mempertanyakan kembali tentang apa peran guru di kelas, jika tidak lagi menjelaskan materi dan semua dibebankan pada siswa dalam dalih belajar mandiri?

Dalam kasus di Indonesia sendiri, K-13 yang memiliki konsep sedemikian rapi sepertinya masih belum dibarengi dengan perbaikan kondisi infrastruktur pendidikan. Salah satunya melalui pola pikir yang dicanangkan dalam K-13 tentang penguatan pola pembelajaran secara jejaring, aktif-mencari, dan berbasis multimedia, dimana ketiganya masih belum bisa dilakukan pada banyak daerah dengan kondisi fasilitas dan infrastruktur yang belum merata sehingga tidak bisa menunjang ketiga pola pikir tersebut. Hal ini yang kemudian banyak terasa ketika pandemi covid-19 menyerang, banyak sekolah yang terpaksa harus libur karena belum mampu menyediakan pendidikan secara daring dan tidak semua siswa memiliki akses teknologi untuk memenuhi hal tersebut. Selain itu dalam tata kelola K-13 yang juga melibatkan segenap elemen tenaga pendidik lainnya masih dirasa kurang maksimal, seperti contoh yang saya alami sendiri di bangku SMA, banyak guru yang belum memahami betul bagaimana konsep K-13 ini dalam membangun karakter siswa. Sehingga K-13 masih dimaknai sempit sebagai upaya melibatkan siswa tapi tidak menyelaraskan dengan kemampuan siswa secara materiel dan non-materiel.

Pembelajaran kritis menawarkan pembebasan dalam K-13 juga bisa dilihat dari adanya pembelajaran multidiscipline yang mempebolehkan peserta didik untuk mempelajari pengetahuan di luar konsentrasinya. Jika melihat di bangku kuliah sendiri, hal ini disambut baik bagi para mahasiswa yang tergolong memiliki penjurusan yang pasti, karena mereka bisa menambah wawasan dari jurusan lain yang masih relevan. Namun jika di bangku SMP atau SMA hal ini masih menghadapi banyak kendala, dimana di antaranya banyak siswa yang justru merasa terbebani dengan pembelajaran lintas jurusan. Apalagi berbeda dengan pendidikan tinggi yang telah memiliki banyak pilihan mata pelajaran, pada saat bangku sekolah, peminatan atau pembelajaran pilihan masih terbatas. Baik dari segi jenis maupun dari kemampuan sumber daya pendidiknya. Hal ini kemudian banyak ditemui yang guru mengajar satu atau lebih mata pelajaran yang selain belum tentu berdasar pada penguasaannya juga memecah fokus guru dalam memahami karakter siswa secara individu dan mendalam.

Dari beragam permasalahan di atas, maka alangkah baiknya K-13 secara teoritis juga memperhatikan betul kondisi di lapangan. Meski tidak bisa dipungkiri bahwa dalam proses perubahan ini masih perlu banyak waktu dan adaptasi untuk kemudian mencapai tujuan yang diinginkan. Namun, setidaknya juga terdapat solusi lain ketika siswa atau tenaga pendidik kesulitan menerapkan sistem pembelajaran, sehingga dalam penerapannya tidak terkesan dipaksakan. Saya rasa dalam konsep K-13 telah memiliki tujuan yang jelas dan konkret, hanya saja hal ini masih belum bisa diterapkan secara utuh di pendidikan Indonesia. Saya juga mengamati, pendidikan di Indonesia masih belum sepenuhnya lepas dari pendidikan tradisional dan belum selaras dengan inti K-13 yang berusaha meningkatkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan bebas mengungkapkan pendapat. Sehingga dalam penerapan pedagogi kritis di Indonesia masih diperlukan perbaikan, tidak hanya dalam Kurikulum 2013 saja, melainkan juga kualitas dan kuantitas tenaga pendidik, infrastruktur yang memadai, dan regulasi yang tidak hanya berkonsentrasi pada teori melainkan juga praktek.

Sumber:

Wattimena, Reza A. A. 2018. PEDAGOGI KRITIS: PEMIKIRAN HENRY GIROUX TENTANG PENDIDIKAN DAN RELEVANSINYA UNTUK INDONESIA. Jurnal Filsafat, Vol. 28, No. 2 Agustus 2018

Kemendikbud. 2014. Konsep dan Implementasi Kurikulum 2013. https://www.kemdikbud.go.id/kemdikbud/dokumen/Paparan/Paparan%20Wamendik.pdf

Herianto. Telaah Kurikulum 2013: Hasil Revisi Tahun 2018. https://osf.io/x7yvw/download

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun