Mohon tunggu...
Fadhligayo
Fadhligayo Mohon Tunggu... mahasiswa penjelajah tulisan

public speaker and motivator yang suka membaca lalu mengabadikannya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

AI antara betah dan resah!

15 Oktober 2025   06:15 Diperbarui: 14 Oktober 2025   01:09 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

i awal tulisan ini, penulis ingin mengucap syukur yang  teramat besar karena diizinkan allah untuk bernaung di buminya saat ini, Dan dihidangkan kelezatan arus informasi sederas sungai amazon, Tiada putusnya bagai sungai nil. kian menerpa akal manusia dengan segala konsekuensinnya.

     "Ah elahh, kan ada chat gpt, tinggal copas susah amat lo", ucap sahabatku beberapa waktu lalu. salahkah ini?.

     AI bagi sebagian orang bukan lagi tentang tanya menanya, atau soal menyoal, tapi lebih dari itu.

 Anak muda khususnya, kita menyimak di laman media dan berita, kasus yang terdengar sangat sangat absurd di kepala,Namun betul adanya, menikah dengan AI misalnya. apakah ini sebuah kewajaran?. mengenyampingkan hal itu, bila kita tarik beberapa dekade lalu, arus media komunikasi rasa-rasa nya belum semasif dan secepat ini, tampaknya hal ini bisa menjadi pemicu diri kita untuk berbuat dan berfikir lebih extra. mengapa?.

     Karena ia bagai Pisau Bermata Dua, Tajam ke atas pula tajam ke bawah. kalaulah pisau ini dipegang oleh tukang jagal profesional, maka hadirlah daging-daging sapi berkualitas nan sedap rasanya. tapi bisa dibayangkan bila pisau ini dipegang seorang balita, mungkin bisa viral di media dengan tag line besar-besar, "seorang ibu tega membiarkan anaknya yang dibawah umur memotong jarinya sendiri". absurd kah ini?, oh tentu tidak, ini fakta.

     Aku seakan ingin membalik waktu, mundur beberapa abad lalu,saat seorang ulama hadist yang rela berpindah tempat, menjadi musafir dalam waktu yang lama, perbedaan iklim dari tempat asalnya menjadi tantangan super menyakitkan, sampai jarinya putus karena beku dimakan musim salju. itu semua demi satu hal yang kini sangat-sangat simpel kita lakukan, yaitu "Mendapatkan Informasi". itu masih satu diantara ribuan sekelumit kisah mereka yang terdahulu dalam mencari satu informasi. apa hasilnya?

     Kesulitan itu yang membuat mereka lebih sering crosscheck dibanding kita, suka membandingkan dan bertanya lebih dari kita saat ini, dan yang pasti lebih menghargai suatu informasi dibanding kita saat ini. lantas apa jalan keluarnya?

     Kita tentu tak Naif dari segala kemudahan yang ia tawarkan, betapa banyak mereka yang menjadi kaya karena mampu memanfaatkan AI ini dengan baik, betapa banyak mahasiswa dan pelajar yang merasa terbantu dan terhindar dari ocehan pembimbing skripsi  karena AI yang baik hati ini, kuncinya hanya satu, AI sebagai penghubung, bukan tempat bergantung. penghubung berarti penolong, pemberi masukan, dan bahan data perbandingan, kita sebagai orang yang memverifikasi informasi, bukan memakan dengan lahap semua informasi.

     Karena AI tak punya cukup harga diri untuk dijadikan sandaran utuh, mengapa?, karena ia tak berperasaan, tak fanatik, sehingga tak ada tarjih (konklusi), tak ada ide baru, dan ia sangat bergantung pada data. kalau saat ini aku atau orang lain tak menulis tentang aku, maka sampai kapanpun AI tak akan Memberitahu mu tentang aku.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun