Mohon tunggu...
Fadhil Nugroho Adi
Fadhil Nugroho Adi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Paruh Waktu

Pembelajar, penyampai gagasan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kejawen, Jalan Sunyi Menjaga Spiritual Diri

1 Januari 2020   20:31 Diperbarui: 1 Januari 2020   20:38 2930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: archive.ivaa-online.org

ORANG Jawa selalu punya cara pandang yang unik pada setiap peristiwa. Entah itu kebetulan-kebetulan yang tidak disengaja, fenomena alam, maupun kehidupan manusia dari dilahirkan sampai ia mati.

Contoh sederhana, larangan menyapu di malam hari. Meski secara nalar sulit dideskripsikan alasan pantangan tersebut, namun orang Jawa percaya jika menyapu di malam hari akan membuat si penyapu "seret" rejeki. Atau larangan duduk di depan pintu yang bikin sulit jodoh, dan pantangan-pantangan lainnya.

Keyakinan yang telah tumbuh secara turun temurun ini dipercaya bisa memengaruhi siklus kehidupan manusia. Siklus yang disebut dengan "sangkan paraning dumadi". Dari mana manusia berasal dan hendak ke mana dia setelah kematiannya.

Untuk memperbaiki siklus hidup yang tidak sempurna, seseorang wajib menjalankan sejumlah tirakat atau lelaku. Yang populer adalah ruwatan. Upacara yang digelar setiap Sura ini diikuti oleh para "nandang sukerta" yang diyakini bakal menjadi mangsa Batara Kala.

Ada banyak golongan yang harus dilepas sukerta-nya, seperti anak tunggal (laki-laki/perempuan), anak lima lelaki/perempuan semua (Pandhawa/Pendhawi), anak laki-laki sebagai anak tengah (pancuran kapit sendhang) atau anak perempuan sebagai anak tengah (sendhang kapit pancuran), anak yang lahir pada waktu yang tidak baik, dan seterusnya bahkan sampai orang yang menanak nasi hingga gosong sekalipun.

Selain dengan tirakat dan lelaku, agar perilaku manusia selalu terjaga dalam siklus hidupnya, maka dia wajib memperhatikan apa yang disebut dengan "ngundhuh wohing pakarti".

Dalam tahap ini, seseorang menjalankan tapa brata yang sejati dalam hidupnya dengan menjalankan segala kebaikan. Sapa nandur, bakal ngundhuh. Siapa menanam, dialah yang menuai.

Dalam bahasa yang lain, kita menyebutnya sebagai karma. Ada karma buruk, ada karma baik. Untuk menghasilkan karma baik, orang Jawa terikat dengan berbagai pitutur dan wewaler  yang termaktub dalam sederet serat dan kitab-kitab kuno.

Piwulang-piwulang kautaman inilah yang menjadi dogma dalam rangka memayu hayuning bawana. Agar apa? Agar menjadi manusia dengan derajat 'titah utama'. Agar setelah mati, budi baiknya tidak ikut mati.

Kesadaran Tertinggi

Untuk meninggalkan jejak kebaikan selama hidup, ada baiknya seseorang mengerti betul dari mana dia berasal dan akan ke mana dia berakhir. Manusia Jawa bisa mengejawantahkannya.

Dalam sebuah kepustakaan lawas yang saya temukan dari tahun 1959 berjudul "Sangkan Paraning Manungsa", tertulis jika manusia berasal dari empat hal: mutmainah (yang dilambangkan dengan air), amarah (darah), supiyah (angin) dan aluamah (bumi).

Keempat unsur inilah yang menjadi pusat kehidupan. Keempat hal ini dimaknai dengan, manusia musti mengerti jika memiliki air dalam tubuhnya yang keluar melalui air seni.

Manusia punya darah yang menjadi keringat, dan punya hawa nafsu yang juga berasal dari darah. Manusia punya angin, yaitu yang keluar dari hidung. Unsur tanah di tubuh manusia bisa dilihat dari daki, maka meski mandi berapa kalipun sehari, daki di tubuh manusia tidak akan bisa habis.

Sementara itu Suryo S Negoro dalam bukunya, "Kejawen Membangun Hidup Mapan Lahir Batin" (2001) menulis, manusia tercipta lewat proses gaib yang terlahir bersama, sehingga manusia bisa berkarya, berpikir, berintuisi dan seharusnya juga bisa berhubungan dengan gaib.

Rasa syukur kepada Sang Pencipta Hidup ini diwujudkan dalam laku penyembahan yang akan lebih terbuka jika dilakukan atas kemauan, kesadaran, dan perasaan batin yang bersih. Sang Hyang Suksma dan Jiwa yang menyatu dalam diri manusia tetap memiliki sifat-sifat gaib yang membantu manusia dalam rangka membangun hubungan serasi dengan Sang Pencipta.

Manusia dipersyaratkan untuk membangkitkan Roso Sejati (bisa dicapai dengan sikap dan laku baik dan benar, menghayati sejati hidupnya dan selalu tawakal kepada Gusti) untuk membuktikan sendiri bahwa Hyang Suksma dalam sejatinya mempunyai pamor.

Perjalanan spiritual inilah yang nantinya akan mengantarkan manusia pada kesadaran akan adanya Realitas Tertinggi yang disebut "Kang Murbeng Dumadi". Kesadaran tersebut akan dapat dicapai bila dibarengi dengan "laku kebatinan" yang dalam khasanah Jawa disebut dengan "laku nawungkridha".

Hasilnya berupa deskripsi Kang Murbeng Dumadi yang disebutkan sebagai "tan kena kinayangapa lan murbawasesa jagad saisine".

Sedulur Papat

Laku kebatinan tersebut sekaligus menjadi bukti kalau orang Jawa tidak akan main-main jika sudah berbicara tentang hal-hal yang bersifat gaib. Sebab memang, peradaban Jawa percaya adanya hubungan yang erat antara makhluk gaib dengan hidup dan kehidupan manusia. Mereka berperan serta untuk menjaga hayuning jagad. 

Maka agar hubungan antara manusia dengan makhluk gaib berjalan harmonis, diaturlah piwulang agar bisa saling srawung. Yang paling sederhana adalah menjaga hubungan antara manusia dengan keempat saudaranya yang lahir lebih dulu, atau mereka yang biasa disebut dengan sedulur marmarti.

Sedulur marmarti inilah yang lebih dulu menyatu dengan semesta, memberitahu akan lahirnya manusia baru ke muka bumi. Pertama adalah air ketuban (kawah) dan diiringi dengan keluarnya ari-ari, darah, dan tali pusar.

Urutan keluarnya tersebut yang kemudian dijadikan dasar sebutan "kakang" (saudara tua) untuk kawah dan adhi (saudara muda) untuk ari-ari, darah, dan tali pusar. Ruh para sedulur ini manunggal namun berpisah dengan ruh manusia.

Sedulur papat bertugas sebagai penghubung spiritual antara manusia dengan alam semesta. Untuk menjaganya, seperti yang tertulis dalam Serat Pustaka Raja Purwa, manusia hendaknya melakukan hidup bersih (lahir batin) dan membakar dupa atau memakai wewangian.

Ada berbagai macam sesaji yang perlu disediakan: untuk saudara yang tidak keluar dari "jalan hina", keluar dari "jalan hina", dan yang sama hari kelahirannya. Nantinya kesemua sesaji dibuatkan kenduri bersama kerabat dekat dengan merapalkan mantra "Hong mangancana maswaha Sanghyang Ngayu hayu hayu hayu surak hayu". 

Selain itu, untuk mengingat para sedulur papat, manusia bisa menyapanya kapanpun seiring dengan apa-apa yang akan dikerjakan. Sapaan ini cukup dibatin saja. Begini ujarannya:

"Marmarti kakang Kawah adhi Ari-ari Getih Puser, kadangingsun papat kalima pancer, kadangingsun kang ora katon lan kang ora karawatan, sarta kadangingsun kang metu saka margaina lan kang ora metu saka margaina, miwah kadangingsun kang metu barengan sadina kabeh, bapanta ana ing ngarep, ibunta ana ing wuri, ayo padha...."
 (sebutkan pekerjaan atau aktivitas yang sedang dilakukan).

Dan bila manusia sudah mencapai ajalnya, saduara-saudara spiritual ini ada baiknya diruwat agar melapangkan jalan di alam kubur. Meruwatnya adalah dengan mengucap dalam batin:
"Ingsun angruwat kadangingsun papat kalima pancer kang dumunung ana ing badaningsun dhewe, Marmarti kakang Kawah adhi Ari-ari, Getih, Puser; sakehing kadangingsun kang ora katon lan ora karawatan, utawa kadangingsun kan metu saka ing margaina lang kang ora metu saka ing margaina, sarta kadangingsun kang metu barengan sadina, kabeh padha sampurna-a nirmala waluya ing kahanan jati dening kawasaningsun."

Epilog

Pada akhirnya, segala lelaku dan sikap spiritual adalah media untuk turut leladi sesameng dumadi, mamayu hayuning sesami. Atau mengabdikan diri kepada masyarakat guna mencapai kebahagiaan sesama hidup. Bukan cuma bagi semua yang nampak, namun kepada yang tak nampak pun, Jawa mengatur pola hubungan seperti yang telah dibahas sebelumnya.  Sebab sepanjang hidupnya, manusia adalah jagat cilik yang kepadanya terselip pangesthi dengan dasar panembah atau pangastuti kepada Sang Murbeng Dumadi.

Pambudidayanira manembah marang Pangeran iku prayogane aja sira anggo sarana ngalab tumuruning peparinge, nanging mligiya nindakake panembah mung saka niyat manembah. Awit wong kang nyenyandhong sihing Pangeran sarana laku panembah kathik banjur nyata kaleksanan panyuwune, ing adat wong mau banjur dadi kethul kawaspadane marang kaluhuran lan keagungane Kang Murbeng Dumadi. Aran isih begja yen ora banjur dadi wong jubriya seneng nyepelekake marang sesamaning dumadi.

Panembahmu kepada Tuhan seyogyanya jangan kamu pakai sebagai sarana untuk mengharap mendapatkan karuniaNya, tetapi jalankan panembah yang diniatkan untuk manembah semata.

Karena orang yang mengharap kasih Tuhan dengan laku panembah yang ternyata berhasil mendapatkan apa yang dimohon, biasanya membuat kehilangan ketajaman kewaspadaan batinnya terhadap keluhuran dan keagungan Kang Murbeng Dumadi. Masih beruntung kalau tidak menjadi orang yang angkuh dan merendahkan sesama titah.

Hong wilaheng awighnam ashtu namah siddham. Rahayu sagung dumadi saindenging buana. Sayektine temen-temen metu sakarasaningsun sedaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun