Mohon tunggu...
Fadhil Nugroho Adi
Fadhil Nugroho Adi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Paruh Waktu

Pembelajar, penyampai gagasan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah di Balik Gelar-gelar dalam Islam

1 Desember 2017   16:20 Diperbarui: 1 Desember 2017   16:44 7476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.voa-islam.com

Gelar-gelar di Nusantara ada yang diberi oleh guru-guru sufi seperti yang diberikan Syeikh Ismail kepada Raja Pasai. Kemudian dalam Kesultanan Banten yang notabene pemimpinnya tak hanya sebagai pemimpin politik melainkan juga pemimpin agama, mereka memakai gelar keagamaan maulana atau sultan di depan nama mereka. Lebih lanjut gelar Senapati ing Ngalogo Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama Kalifatullah yang disandang raja Mataram, Sultan Agung, mengandung unsur bahasa Jawa-Arab. Artinya apa? Artinya, ia selain sebagai raja Jawa, juga sekaligus sebagai "penguasa Islam" yang mengerti Islam. 

Setelah kepemimpinannya diganti oleh Raden Rangsang, gelar berubah menjadi Prabu Pandita Anyakrakusuma Sultan Agung Senapati Ing alaga Ngabdul Rahman Sayyidin Panatagama. Baru ketika Amangkurat IV menduduki tampuk kepemimpinan, ia menambahkan sebutan Kalipatullah pada gelarnya sehingga menjadi Prabu Mangkurat Senapati Ing-alaga Ngabdul Rahman Sayyidin Panatagama Kalipatullah Ing Tanah Jawi. 

Penyematan gelar-gelar ini menurut Zulkifli, sejak awal Mataram berusaha kembali memegang kekuasaan politik dan keagamaan secara terpadu atau daam kata lain upaya penyatuan kekuasaan agama dan politik. Sultan Malaka juga disebut sebagai Khalifat al-Mukmin, dzill Allah fi al-ardh, dan ini tercantum dalam Kitab Undang-Undang Malaka yang disusun sekitar tahun 1450. Bahkan seorang Diponegoro pun, ia menggunakan gelar Ngabdulkamid Erucaraka Sayyidin Panatagama Kalipah Rasulullah Saiin ketika terjun dalam Perang Diponegoro.

GELAR-GELAR ISLAM DI INDONESIA

  • Ajengan. Anjengan adalah sebutan bagi ulama di Jawa Barat (Sunda) dan biasa disematkan pada para ahli agama yang telah menempuh pendidikan Islam selama belasan tahun dan yang telah mencapai tingkat tajrid (pencapaian tingkat hidup dan kehidupan yang mantap dan mapan baik jasmani maupun rohaniah).
  • Anre Gurutta. Anre Gurutta merupakan gelar pemuka agama (ulama) di kalangan Bugis-Makassar, semacam gelar kiai di tanah Jawa. Misalnya, A.G.H. Adurrahman Ambo Dall, A.G.H. Abdul Rahman Mattammeng dan juga A.G.H. Abdul Muin Yusuf.
  • Bindereatau dalam bahasa Jawa disebut Bendoro adalah gelar bagi orang kepercayaan kiai di Madura.
  • Buya. Buya adalah sebutan bagi ulama di Sumatera Barat, berasal dari bahasa Arab, abi atau abuya yang berarti ayahku atau seseorang yang dihormati.
  • Datu. Datu memiliki dua pengertian yakni, datu yang berarti penguasa atau pemimpin atau raja yang dipakai di Kalimantan Timur bagian utara misalnya Raja Tidung dan Raja Bulungan bergelar Datu. Di lain tempat gelar datu mengalami perubahan menjadi datuk, dato', ratu, dan latu. Datu yang lainnya memiliki arti sebagai buyut yang dipakai dalam bahasa Banjar dan bahasa Brunei. Dalam bahasa Brunei nenek moyang disebut datu nini, sementara orang Banjar menyebutnya nini datu.Alim ulama yang sudah meninggal di masa lampau oleh generasi sekarang juga disebut Datu misalnya Datu Kalampaian, Datu Nuraya, Datu Ingsat dan lainnya. Di Sulawesi juga dapat ditemui nama Khatib Tunggal Datuk Makmur atau masyarakat mengenalnya sebagai Datu Ribandang yang merupakan penyebar Islam di Sulawesi pada masa kepemimpinan Raja Tallo XV, Daeng Manyonri, yang memeluk Islam pertama kali di Sulawesi Selatan. Gelar datuk juga merupakan gelar adat di Sumatera Selatan dan Sumatera Barat.
  • Gus.Gus adalah gelar yang semula hanya di kalangan pesantren dan merupakan kependekan dari "bagus". Panggilan ini ditujukan kepada anak kyai dan hanya berlaku di tanah Jawa.
  • Guree. Guree adalah panggilan Guru terhadap ulama di Aceh dan memiliki makna sama dengan Gurutta di Sulawesi.
  • Gurutta, merupakan gelar kehormatan kepada ulama di Makassar.
  • Haji. Sebelum Belanda datang ke Indonesia, gelar haji ini belum ada. Akan tetapi setelah kedatangannya barulah istilah haji dikenal dalam susunan masyarakat untuk mempertegas kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Pada gilirannya kaum haji inilah yang menjadi kelas penyangga dalam sistem kolonial Belanda. Dalam catatan sejarah, muslim dari Indonesia sudah menunaikan ibadah haji sejak abad ke-15, saat itu yang memberangkatkan para jama'ah adalah Raja Banten dan Raja Mataram. Fenomena ini terjadi karena sesungguhnya pemberangkatan jama'ah tersebut dilandasi oleh motif politik yakni berupa keinginan mendapat pengakuan dari Sultan Haramain yang menguasai kota Mekkah dan Madinah. Kalau sudah diakui maka para raja mendapat gelar sultan dan mereka percaya bahwa gelar mereka akan meningkatkan kekuasan politiknya.
  • Kiai. Gelar Kiai mengandung dua pengertian, yakni Kiai dalam tradisi Jawa dan Kiai dalam pengertian etimologi (lighotan). Dalam tradisi Jawa, Kiai adalah sebutan untuk orang yang dihormati, berasal dari kata iki ae yang berubah menjadi kyai. Sementara Kiai dalam pengertian etimologi adalah man balagha sinnal arbain, yaitu orang-orang yang sudah tua umurnya atau orang-orang yang mempunyai beberapa kelebihan selain masalah agama. Tradisi Banjar menyebut kiai sebagai gelar kepala distrik dan bukan ulama, yang mengalihkannya adalah pemerintah Hindia Belanda. Sementara itu di Banten dinyatakan fungsi dari Kiai yakni sebagai Guru Ngaji, Guru Tarekat, Guru Kitab, Guru Ilmu Hikmah, dan sebagai Mubaligh.
  • Lora atau Ra. Gelar ini diberikan kepada putra kiai pimpinan pesantren di Madura misalnya Lora Syaiful yang putera kedua K.H. Dja'far Yusuf Abd. Wahid (pengasuh dan pendiri Pondok Pesantren Darul Ulum II Alwahidiyah Gersempal di Sampang).
  • Mas. Mas merupakan gelar untuk menyebut keturunan kiai, baik yang menjadi ulama maupun tidak. Kiai Mas merupakan gelar yang disandang atas perintah Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Bassyaiban yang berasal dari Hadramaut pada awal abad ke-18, dan ulama yang mendapat gelar ini semisal K.H. Mas Mansyur.
  • Nun. Nun merupakan sebutan bagi ulama di Madura, sama seperti Bendara atau Ra.
  • Nyai. Nyai merupakan panggilan kepada istri kiai, misalnya Nyai Ahmad Dahlan. Di Kalimantan gelar nyai ditujukan untuk wanita terhormat yang bukan keturunan bangsawan, misalnya Nyai Undang, Nyai Siti Dian Lawai, dan lainnya.
  • Panembahan. Gelar ini diberikan kepada ulama yang lebih ditekankan pada aspek spiritual dan menyangkut segi kesenioran serta nasabnya.
  • Panrita. Gelar Panrita diberikan untuk menyebut ulama bagi suku Bugis. Oleh masyarakat Bugis, Panrita dijadikan sebagai tempat untuk bertanya dan meminta nasehat. Sang Panrita harus memiliki kriteria pintar atau cerdas (macca), keberanian (warani), dan harta berlimpah atau kaya (sugi).
  • Santri. Gelar Santri memiliki beberapa pengertian, ada yang menyebutnya sebagai guru mengaji (dari bahasa Tamil), atau dari bahasa Sansekerta "shastri" yang berarti orang yang memiliki kemampuan untuk mengetahui buku-buku agama dan buku-buku ilmu pengetahuan. Selanjutnya gelar santri mengalami penyempitan dan perluasan makna sebagai siswa atau murid yang sedang belajar keagamaan Islam di pesantren di bawah asuhan kiai atau ulama.
  • Sidi. Gelar Sidi diberikan di Pariaman, Sumatera Barat dan berasal dari kata sayyidi, dan dari penjelasan yang diberikan Zulkifli tampak jelas bahwa sidi ini gelar yang sepadan dengan habib atau berarti keturunan Nabi Muhammad SAW.
  • Sunan. Kata Sunan dalam terminologi Jawa memiliki kesamaan makna dengan susuhunan atau suhunan yang berarti jununan atau yang dijunjung tinggi. Sunan adalah sebutan bagi orang yang diagungkan dan dihormati, biasanya karena kedudukan dan jasanya di masyarakat. Gelar ini biasa diberikan untuk mubaligh atau penyebar Islam, khususnya di pulau Jawa pada abad ke-15 hingga abad ke-16 (Walisongo). Gelar raja-raja keturunan Mataram seperti Surakarta juga menggunakan gelar Sunan. Orang Sunda menyebut Sunan bagi orang yang memiliki kedudukan terhormat (Sunan Ambu, sebagai permisalan).
  • Teungku. Teungku merupakan sebutan bagi ulama di Aceh, akan tetapi secara umum juga menjadi gelar sapaan bagi laki-laki dewasa di Aceh. Teungku juga bisa berarti gelar kepakaran dalam keagamaan di Aceh misal, Teungku Cik Di Tiro dan Teungku Daud Bireuh. Teungku di Aceh juga disematkan pada kiai atau guru ngaji, sementara sebutan Teungku bagi putri raja tidak diketahui oleh rakyatnya.
  • Tuan Guru. Tuan Guru adalah sebutan bagi ulama di Nusa Tenggara dengan fungsi mendidik dan mengayomi umatnya.
  • Tuanku. Tuanku diberikan kepada para santri yang telah menyelesaikan pendidikan di pesantren di daerah Padang, Sumatera Barat. Gelar Tuanku juga diberikan kepada syekh, kiai, guru yang diakui secara de jure dari adat. Dikatakan bahwa untuk meraih gelar Tuanku tidaklah mudah, harus memahami rukun tigo baleh surau dan tigo baleh kampung (ketek banamo, gadang bagala).
  • Wali.Gelar Wali diberikan kepada ulama yang sudah mencapai tingkat yang tinggi, memiliki kemampuan pribadi yang luar biasa. Seringkali para wali dipanggil dengan sunan seperti halnya para raja. Wali adalah orang-orang suci yang menyebarkan Islam di tanah Jawa. Terdapat sembilan orang yang patut dianggap Wali berdasar konsensus para ulama dan raja waktu itu. Latar belakang kehidupan para Wali juga berragam, ada yang berlatarbelakang mubalig, pedagang, dan ada pula yang dari politik.
  • Zilullah fil Alam. Gelar ini berasal dari bahasa Arab yang artinya bayang-bayang Allah di muka bumi. Gelar ini banyak dipakai penguasa Malaka untuk penunjukan eksistensi raja, begitu pula yang dilakukan Kesultanan Aceh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun