Tak ada satupun yang mengetahui musibah yang akan menimpa manusia di muka bumi ini terkecuali Allah SWT. Musibah dapat berupa bencana alam (banjir, letusan gunung berapi), kebakaran, kecelakaan pada diri sendiri atau keluarga, ataupun meninggal dunia. Musibah dapat diminimalisir dampak yang akan ditimbulkannya oleh manusia (kecuali kematian) dengan mempersiapkan ‘sesuatu’ yang dapat diambil manfaatnya ketika musibah tersebut menimpa kehidupan seseorang atau dengan kata pepatah “siapkan payung sebelum hujan”. ‘Sesuatu’ yang saya maksud disini adalah apa yang disebut dewasa ini ‘Asuransi’ tetapi bagaimana hukum asuransi dalam islam ? bolehkah kita sebagai umat muslim melakukannya ? apakah asuransi merendahkan iradat Allah SWT ? mari kita bahas satu per satu.
Asuransi merupakan salah satu dampak dari perkembangan zaman yang semakin modern dan belum pernah di temui pada zaman kekhalifaan muslim. Kajian ilmu keislaman tentang asuransi baru muncul pada fase para lahirnya ulama kontemporer. Seperti kita ketahui bersama, asuransi adalah salah satu lembaga keuangan modern yang melakukan manajemen risiko yang mungkin dihadapi di masa yang akan datang. Hal ini sangat menarik, mengingat kemungkinan adalah suatu ketidakpastian (uncertainly). Mengantisipasi sesuatu yang masih berupa kemungkinan bisa jadi sebagian orang sebagai sebuah tindakan yang tidak berguna sama sekali tetapi bagi sebagian yang lain merupakan sebuah langkah yang tepat untuk menghindari kerugian yang mungkin ditimbulkannya.
Suatu ketidakpastian dalam Islam tentunya dilarang dan asuransi termasuk di dalamnya. Disamping itu, asuransi juga mengandung unsur maysir dan riba maka lengkaplah unsur MAGHRIB (Maysir, Gharar, Riba) sehingga sebagian ulama mengatakan bahwa praktik asuransi tidak dibenarkan tetapi unsur-unsur haram dalam asuransi bisa dihilangkan agar praktik asuransi dapat diterima oleh Islam. Solusinya adalah dengan membentuk asuransi syariah.
Asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/Tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Saling melindungi dan tolong-menolong bermakna semua peserta asuransi menjadi pelindung dan penolong antara satu dengan lainnya. Jika peserta A meninggal atau mengalami musibah peserta B,C harus membantunya demikian sebaliknya. Dana yang digunakan untuk saling tolong menolong tersebut berasal dari rekening khusus dalam bentuk sedekah atau Tabarru’ yang berasal dari pembayaran premi para peserta.
Maysir dapat diartikan adanya salah satu pihak yang untung sedangkan kerugian ditanggung oleh pihak yang lain. Hal ini dapat terjadi jika pemegang polis membatalkan kontraknya sebelum masa reversing period maka yang bersangkutan tidak akan menerima uangnya kembali melainkan sebagian kecil saja. Dalam asuransi syariah hal ini dapat teratasi dengan cara reversing period yang bermula dari akad, dimana setiap peserta mempunyai hak untuk mendapatkan cash value dan mendapatkan semua uang yang telah dibayarkan, kecuali yang sudah dimasukkan ke dalam rekening khusus (Tabarru’) dalam bentuk sedekah.
Gharar berarti ketidakpastian atau ketidaktahuan dua belah pihak dalam suatu akad transaksi. Hal ini dapat terjadi pada dua kondisi. Pertama, akad yang mendasari permulaan polis maksud akad disini adalah akad tabadduli atau akad pertukaran, yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Akad pertukaran sebenarnya harus jelas berapa yang dibayarkan dan berapa yang akan diterima tetapi hal ini menjadi gharar (ketidakpastian) karena nasabah mengetahui berapa besar dana asuransi yang akan diterima tetapi tidak mengetahui berapa yang akan dibayarkan karena hanya Allah SWT yang tahu kapan seseorang akan meninggal. Hal ini dapat diatasi dalam asuransi syariah dengan menggunakan konsep taawun atau tolong-menolong dan saling menjamin yaitu setiap nasabah saling membantu jika ada klaim sehingga dapat diketahui secara jelas besarnya jumlah dana asuransi yang dibayarkan ataupun diterima. Kedua, sumber dana pembayaran dan keabsahan penerimaan uang klaim. Untuk menyelesaikan masalah ini, dalam pembayaran premi asuransi syariah sejak awal akan dibagi dua. Bagian pertama akan masuk ke rekening pemegang polis dan satu lagi dimasukkan ke rekening tabarru’. Dari rekening inilah klaim peserta diambil dan semua sudah ikhlas memberikannya secara sedekah.
Riba berarti adanya tambahan padanan (iwad) dalam suatu akad transaksi yang diterima oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak yang terlibat. Riba dapat terjadi jika bunga yang diterima oleh salah satu pihak diperoleh dari jumlah tanggungan, investasi, atau penempatan dana pihak ketiga. Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan instrumen akad syariah yang bebas riba dan berinvestasi pada objek yang halal. Tiga akad syariah yang digunakan adalah akad mudharabah, mudharabah musyarakah, dan akad wakalah bil ujrah dalam pengelolaan dana.
Pada dasarnya umat muslim boleh saja membuat antisipasi dan proteksi maksimum terhadap diri sendiri, keluarga, dan harta benda dalam bentuk asuransi selama hal tersebut tidak menyalahi aturan agama. Hal ini juga tidak akan merendahkan iradat Allah SWT yang Maha Mengetahui segala sesuatu dikarenakan manusia sebagai makhluk ciptaannya juga tetap tidak dapat mengetahui apa yang akan terjadi padanya esok hari. Sebagai manusia kita hanya dapat berihktiar, bertawakal, serta berserah diri kepada-Nya.
nb : sebagian besar isi artikel ini saya peroleh sumbernya dari buku Bank & Lembaga Keuangan Syariah oleh Andri Soemitra (Jakarta : Kencana, 2012)