Mohon tunggu...
fadel khatami
fadel khatami Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ekonomi Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Memiliki hobi membaca buku fiksi dan non fiksi, suka berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Money

Penyebab Lambatnya Perkembangan Fintech Syariah di Indonesia

12 Mei 2022   21:45 Diperbarui: 12 Mei 2022   21:52 2413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kedua, masih kurangnya permodalan dan infrastruktur pendukung fintech syariah. Modal merupakan dasar berjalannya rumah tangga perusahaan. Perusahaan hanya akan dapat berjalan jika memiliki modal yang cukup untuk kegiatan perusahannya. Untuk perusahaan fintech sendiri, OJK memiliki persyaratan permodalan minimum yang baru, yaitu perusahaan fintech baru yang ingin bergabung ke dalam industri P2P Lending harus memiliki modal minimum sebesar 25 miliar. Keputusan ini adalah hasil diskusi dengan berbagai pihak dan ini merupakan cara mengurangi risiko kegagalan dan cara otoritas  menjaga agar hanya platform yang mencapai stabilitas keuangan  internal saja yang bisa mengoperasikan layanan pendanaan bersama.  OJK tidak ingin menemui platform yang masih membangun  infrastruktur digitalnya dari utang dan hanya sibuk mencari investor  setelah mendapat izin, sampai akhirnya tidak kuat memenuhi rasio  kesehatan operasional dan memilih mundur.

Sulitnya fintech mendapatkan pemodal (lender) ternyata masih menjadi permasalah klasik fintech khususnya fintech syariah. Bisnis model yang ada di fintech syariah tidak serta merta memudahkan fintech syariah mendapatkan pemodal. Kemudian, seperti yang ditemukan oleh Muzdalifa (2018), bahwa perkembangan fintech syariah masih terkendala dengan permasalahan infrastruktur. Ada  keterbatasan sarana dan prasara pendukung fintech syariah. 

Oleh karena itu, pihak-pihak terkait yang memiliki kewenangan dalam fintech syariah perlu melakukan upaya-upaya bagaimana supaya fintech-fintech syariah tidak terkendala dalam urusan modal. Misalnya bagaimana meyakinkan bagaimana para pemodal (lender) bisa memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap fintech syariah sehingga pemodal percaya untuk menitipkan dananya kepada fintech syariah karena yakin akan adanya pengembalian yang menjanjikan. Bahkan sebenarnya jika dapat dilakukan, pemerintah dapat lebih mendukung kemajuan fintech syariah secara langsung, karena dengan begitu pasti dapat lebih mudah berkembang karena ada dukungan secara langsung dari pemerintah. Demikian pula, masalah infrastuktur perlu untuk dibenahi supaya dapat bersaing dengan fintech konvensional yang sudah memiliki infrastruktur fintech lebih maju dan sesuai dengan standar.

Ketiga, pengetahuan dan literasi masyarakat mengenai keuangan syariah terkhusus fintech syariah masih sangat minim terutama dikalangan UMKM. Sebagaimana hasil survei yang dilakukan oleh OJK pada tahun 2019, bahwa tingkat literasi keuangan syariah baru mencapai 8,93%. Hal ini bisa dengan mudah dilihat misalnya ketika  masih ada yang bertanya tentang bunga saat ingin meminjam melalui fintech syariah. 

Akademisi perlu dilibatkan dalam rangka riset dan pengembangan serta edukasi kepada masyarakat secara luas. Sehingga diharapkan dengan adanya fintech dapat meningkatkan inklusi keuangan masyarakat Indonesia. Perusahaan fintech juga memiliki tanggung jawab khusus dalam rangka meningkatkan literasi dan inklusi keuangan, misalnya dengan melakukan sosialisasi dan promosi fintech syariah lebih gencar. Kemudian, kebijakan yang dibuat pemerintah dalam mendorong literasi dan inklusi keuangan serta program-program pendukung lainnya secara tidak langsung dapat mengakselerasikan peran fintech terutama fintech syariah di Indonesia.

Mengapa masalah-masalah tersebut harus diselesaikan? Dikarenakan besarnya potensi pasar fintech khususnya  fintech syariah di Indonesia. Berdasarkan penelitian Saripudin dkk pada Agustus 2020 yang biaya penelitiannya didanai oleh Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Sampai dengan Agustus 2020 tercatat sudah ada 157 fintech di Indonesia, dengan total aset 3,12 triliun rupiah. Dari dari jumlah tersebut, 11 diantaranya adalah fintech syariah dengan persentase total aset mencapai 2,04% (64,97 miliar rupiah) dari total aset fintech secara keseluruhan (OJK, 2020). Jika dilihat dari jumlah penyaluran pembiayaan, secara keseluruhan fintech di Indonesia telah mencapai 121,87 triliun rupiah dengan pertumbuhan 122,74% per tahun. Angka ini menunjukkan potensi yang sangat besar dari keberadaan fintech di Indonesia, di mana lebih dari 99% borrower dari fintech adalah UMKM. Jadi tidak diragukan lagi bahwa fintech memiliki peran yang sangat besar dalam mendorong pertumbuhan UMKM di Indonesia. Namun demikian, masih diperlukan upaya-upaya lanjutan untuk mengakselerasikan pertumbuhan UMKM yang diinisiasi oleh fintech syariah.


Ini membuktikan bahwa pangsa pasar dan prospek fintech syariah di Indonesia memang sangat besar. Oleh karena itu, fintech syariah di Indonesia harus terus-menerus dikembangkan supaya Indonesia bisa menjadi pusat keuangan syariah di dunia dalam hal ini termasuk menjadi pusat fintech syariah di dunia dan hal ini tidaklah mustahil sehingga sangat layak diperjuangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun