Mohon tunggu...
Fatchurrachman Soehari
Fatchurrachman Soehari Mohon Tunggu... -

Fatchurrachman, lahir di Purwokerto 16 Februari 1950, aktif menulis terutama tentang spiritual dan humanisme setelah pensiun tahun 2006, setelah aktif selama 36 tahun di RRI. Selain menulis di blog pribadinya http://fatchurrachman.blogspot.com dan blog berbahasa Banyumasan http://blangkon.kecut.blog.plasa.com, aktif berceramah tentang spiritualisme, humanisme dan kesetaraan. Tinggal di desa Purwosari, Kecamatan Baturaden, Banyumas.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kang Doko Mencari Tuhan (6)

6 November 2009   22:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:25 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Aku dapat memahami, bagaimana perasaan hatinya yang galau setelah aku ajak untuk mulai menilai diri sendiri.Berkali-kali aku mengatakan, aku hanya mencoba menunjukkan kepada Kang Doko tentang perlunya muhasabah, atau introspeksi diri. Cara muhasabah yang dapat dipertanggungjawabkan adalah dengan mengacu pada ayat-ayat Al Quran, bukan sekedar menghitung-hitung sesuatu yang tidak jelas. Dengan membaca Al Quran, merenungkan kandungan ayat itu dan menyesuaikannya dengan kondisi diri, maka tidak ada seorang pun yang dirugikan.

” Jadi walaupun Kang Doko sekarang menyadari belum dapat digolongkan sebagai shiddiqin, sampeyan tidak akan rugi. Sebaliknya Kang Doko justru beruntung, karena masih punya kesempatan untuk memperbaiki diri. Coba kalau sampeyan tidak juga mau jujur pada diri sendiri, siapa yang rugi ? Sampeyan sendiri kan ?”

Kang Doko tidak henti-hentinya menganggukkan kepala sebagai tanda setuju dengan ucapanku. Ini sungguh menyenangkan, karena ternyata persahabatan kami tidak semata-mata urusan duniawi belaka. Kini perlahan-lahan, persahabatan kami mulai merambah ke wilayah yang lebih substantif, yaitu wilayah kerohanian, atau dapat juga disebut sebagai wilayah yang akan mengantarkan kami berdua pada pengenalan terhadap Allah SWT.

Lalu Kang Doko kuajak untuk kembali melakukan muhasabah, kalau bukan Nabi dan belum juga disebut shiddiqin, mungkinkah aku ini tergolong kelompok syuhada ? Jika melihat terjemah Al Quran Departemen Agama, pengertian syuhada disebutkan sebagai orang-orang yang mati syahid. Benarkah hanya itu ? Lantas bagaimana dengan orang-orang yang tidak pernah pergi berperang ? Apakah mereka punya kesempatan untuk menjadi syuhada ?

Ada beberapa kata yang memiliki akar yang sama dengan kata syuhada, yaitu syahid, masyhud, syahidin, isyhadu dll. Arti dasar dari kata yang serumpun ini adalah saksi. Maka Allah menyebutkan dalam salah satu firmanNya, wa syâhidin wa masyhûd yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ”dan yang menyaksikan dan yang disaksikan”(QS 85:3). Syahidin itulah yang disebut sebagai orang yang menyaksikan, atau saksi, dan masyhud adalah obyek yang disaksikan.

Maka, makna syuhada pun adalah para saksi, yakni orang-orang yang menyaksikan, atau lebih eksplisit : orang-orang yang telah menyaksikan atau orang-orang yang telah bersyahadat. Jadi inilah barangkali yang disebut sebagai syahadat yang sebenarnya. Yaitu adanya penyaksi dan adanya yang disaksikan. Syahadat bukan sekedar mengucapkan kalimat syahadat. Lalu, jika syahadat itu berupa pengakuan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusanNya, mestinya pengakuan itu meluncur dari mulut seseorang yang telah benar-benar menjadi penyaksi atas eksistensi Allah.

” Oooo,” Kang Doko hanya berujar begitu. Kemudian diam. Cukup lama. Dan aku membiarkan dia merenungkan sendiri. ” Jadi syahadat itu bukan sekedar ucapan ya, Ji.”

” Kalau mengacu pada pengertian tadi, ya iya lah, Kang,” sahutku.

” Jadi pengertian mengucapkan kalimat syahadat itu salah kaprah ya, Ji,” tanya Kang Doko.

” Ya tergantung dari sisi mana kita melihatnya, Kang.”

” Maksudmu ?”

” Begini,” aku mencoba untuk menjelaskan, ” coba katakan padaku, Kang, alat yang diberikan oleh Tuhan kepada kita untuk menyaksikan atau melihat itu apa ?”

” Mata.”

” Terus, mulut itu selain digunakan untuk makan, apa lagi fungsinya ?”

” Ya untuk berkata-kata lah, Ji,” sahut Kang Doko dengan sangat yakin.

” Kalau begitu, mulut akan mengatakan sesuatu setelah mata menyaksikan, atau sebaliknya ?”

Di sini Kang Doko berfikir agak lama. Lalu perlahan-lahan dia berkata seperti pada dirinya sendiri, ” orang buta itu tidak pernah melihat sesuatu. Apa yang selalu ”tampak” padanya adalah kegelapan. Tetapi ia dapat menyebut benda-benda yang ada di alam semesta, karena ia mendengar orang mengatakannya. Ia dapat berkata ”matahari” tetapi jika ditanyakan kepadanya, seperti apa matahari itu, dia tidak akan dapat menyebutnya sampai ada orang lain yang memberi tahu. Meskipun demikian, dia tetap tidak dapat membedakan ”matahari” dan ”bulan”. Kalau diberitahukan kepadanya, matahari itu muncul di waktu siang dan bulan muncul di waktu malam, maka dia akan menanyakan lagi, siang itu seperti apa dan malam itu seperti apa. Kemudian jika diberitahukan siang itu terang dan malam itu gelap, maka dia pun akan bertanya, terang itu seperti apa dan gelap itu seperti apa. Bagaimana mau menerangkannya lagi, sedangkan dia sendiri tidak tahu bahwa yang ”tampak” olehnya selama ini adalah gelap. Dia tidak merasakan itu, karena dia tidak pernah melihat sesuatu selain gelap itu.”

Aku tersenyum. ” Kang, dia disebut buta karena Allah tidak memberikan penglihatan pada matanya. Kang Doko mestinya sudah tahu, mata itu organ tubuh, sama seperti telinga dan lain-lain. Orang buta itu punya mata, tetapi tidak dapat melihat, karena Allah tidak memberikan kemampuan untuk melihat. Orang tuli pun punya telinga, tetapi telinganya itu tidak dilengkapi dengan pendengaran. Mata, telinga dan semua organ tubuh manusia itu disebut jasad, dia tidak akan dapat berbuat sesuatu jika Allah tidak memberikan kemampuan. Maka di dalam Al Quran banyak sekali ayat-ayat yang menegur manusia dengan ungkapan apakah kamu tidak melihat, apakah kamu tidak mendengarkan, apakah kamu tidak berfikir, mengapa kamu tidak menggunakan akalmu dll”.

Kang Doko tertegun. Entah apa yang dipikirkannya.

” Kang,” kataku kemudian, ” Allah menjadikan segala sesuatu berpasangan, atau masing-masing memiliki pasangan. Lelaki pasangannya wanita, lahir pasangannya batin, langit pasangannya bumi dstnya. Oleh karena itu, jika Allah mengaruniakan mata lahir atau mata kepala, maka Allah juga memberikan pasangannya berupa mata batin, atau mata qolbu. Mata lahir berungsi untuk menyaksikan segala sesuatu yang bersifat lahiriah, dan mata batin atau mata qolbu berfungsi untuk menyaksikan segala sesuatu yang bersifat batiniah atau rohaniah. Potensi keduanya harus dimanfaatkan oleh manusia jika dia ingin selamat hidupnya.”

” Bagaimana caranya ?” tanya Kang Doko.

” Nanti, Kang, sabarlah,” sahutku.” Yang penting sekarang, apakah Kang Doko sudah bersyahadat secara benar melalui penyaksian yang benar ?”

Kang Doko menggeleng.

” Jadi, Kang Doko belum masuk ke kelompok syahidin,” kataku.

” Astaghfirullahalazim,” ujar Kang Doko lirih.

” Masih ada kelompok lainnya koq Kang, yaitu sholihin, siapa tahu Kang Doko ada di situ,” kataku.

Kang Doko mengangguk.*****

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun