Setiap pagi saat bangun tidur, tanpa sadar kita langsung mencari ponsel. Sebelum tidur pun, kita sering asyik scrolling selama beberapa menit bahkan jam. Kebiasaan ini lebih dari sekadar kebiasaan biasa. Rasa takut ketinggalan informasi yang membuat kita selalu waspada. Di balik perilaku ini, tersembunyi mekanisme biopsikologis yang rumit, terutama yang melibatkan dopamin atau zat kimia yang mengatur sistem reward di otak kita.
Saat seseorang membuka media sosial tanpa tahu apa yang akan mereka temui, kadar dopamin dalam otak semakin meningkat. Begitu juga saat mereka menunggu balasan chat. Dopamin akan kembali naik. Ketidakpastian ini mendorong mereka terus menggulir layar tanpa henti, karena otak mereka terus mencari dorongan dopamin dari hal-hal yang tidak pasti.
B.F. Skinner menemukan bahwa hadiah yang acak dan tidak bisa diprediksi ternyata jauh lebih membuat ketagihan dibandingkan hadiah yang diberikan secara konsisten. Konsep ini juga digunakan oleh media sosial. Setiap notifikasi bisa muncul atau tidak, dan setiap postingan bisa mendapatkan banyak atau sedikit like. Ketidakpastian inilah yang menciptakan obsesi untuk terus-menerus memeriksa ponsel. Otak generasi muda seperti kita ini yang sejak kecil tumbuh dengan smartphone, sudah dikondisikan untuk terus mencari dopamin dari hadiah yang bersifat intermiten.
FOMO dan Anxiety Cycle
FOMO, atau fear of missing out, sebenarnya adalah manifestasi dari kecemasan ketakutan akan tertinggal atau merasa tidak penting. Kecemasan ini memicu produksi kortisol, hormon stres yang membuat otak selalu waspada. Setiap notifikasi yang muncul memberi dorongan dopamin. Untuk meredakan kecemasan tersebut, mereka cenderung membuka media sosial yang dianggap mengurangi kecemasan. Namun, rasa lega ini hanya sementara dan malah memperkuat siklus kecemasan kemudian dopamine mencari stimulan lagi. Hal ini sangat kuat dan sulit untuk dipatahkan.
FOMO (Fear of Missing Out) juga berkembang pesat di lingkungan yang penuh dengan perbandingan sosial. Banyak orang cenderung memposting hal-hal positif seperti liburan, pencapaian, atau penampilan yang tampak sempurna. Mereka jarang membagikan perjuangan dan kegagalan mereka. Otak kita, yang sering kali tidak menyadari hal ini, mulai membandingkan hidup mereka . Hal ini menimbulkan perasaan "perception gap", di mana orang merasa bahwa teman-teman mereka lebih bahagia, lebih sukses, bahkan lebih penting. Perasaan ini kemudian memicu FOMO yang semakin dalam. Akibatnya, mereka mulai scrolling lebih banyak untuk "catch up", yang justru membuat mereka terpapar lebih banyak highlight reel dan memperburuk FOMO mereka. Pada akhirnya, terbentuklah suatu siklus vicious yang sulit diputus.
Neural Rewiring: Otak yang Berubah
Perilaku berulang yang diberikan reward kuat dapat mengubah struktur fisik otak, disebut neuroplastisitas. Ketika seseorang terus-menerus memeriksa media sosial untuk mendapatkan dopamine, jalur saraf yang terkait menjadi semakin kuat. Area otak untuk pemrosesan reward menjadi hiperaktif, sementara prefrontal cortex yang mengatur pengendalian impuls dan penilaian menjadi kurang efisien. Akibatnya, pengambilan keputusan lebih dipengaruhi oleh emosi dan impuls daripada alasan. Otak yang terbiasa mendapatkan rangsangan konstan akan merasa gelisah dan cemas tanpa rangsangan tersebut. Kebosanan menjadi tidak tertahankan. Cahaya biru dari smartphone menekan melatonin, hormon tidur. Bersamaan dengan kecemasan, banyak generasi muda mengalami insomnia. Kurang tidur membuat emosional lebih sulit dan pengambilan keputusan menjadi lebih impulsif.
Mengatasi FOMO
Memahami bahwa FOMO bukanlah kegagalan pribadi, melainkan hasil dari teknologi yang memanfaatkan otak kita. Seperti mengatur waktu tanpa ponsel, menggunakan batasan aplikasi, atau bahkan menghapus media sosial. Lebih dari itu, kita perlu merubah pola pikir dan kebiasaan secara dengan melatih otak agar tidak terlalu bergantung dengan  mengalihkan ke kegiatan yang lebih sehat.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI