Geng motor tak selalu tentang kekerasan. Mereka seringkali hanyalah anak-anak yang tak didengar. Tulisan ini mengajak kita melihat lebih dekat, dengan hati yang terbuka.
Beberapa minggu lalu, saya membaca berita tentang seorang siswa SMA yang dibacok geng motor. Ia tidak sedang tawuran. Tidak pakai jaket hitam. Tidak bawa senjata. Ia hanya salah tempat, salah waktu. Meninggal.
Saya membaca itu sambil duduk di ruang tamu, sambil menyuapi anak saya makan malam. Sambil menatap nasi yang sudah dingin, saya diam. Tidak tahu kenapa, saya ikut merasa kehilangan. Mungkin karena saya juga punya adik lelaki. Mungkin karena saya pernah tumbuh di kota yang penuh suara knalpot dan sirene ambulans.
Mengapa Mereka Memilih Jalanan?
Geng motor bukan hanya soal kejahatan. Kadang, ia adalah panggilan paling nyaring untuk diakui.
Saya tumbuh di sebuah kota kecil di ujung timur Indonesia. Kota yang ramai tapi sepi. Ramai suara, sepi makna. Saya ingat betul, dulu ada sekelompok anak muda yang sering nongkrong di simpang tiga dekat sekolah. Mereka memakai jaket hitam, rambut dicat, dan tertawa terlalu keras.
Kami, yang bukan bagian dari mereka, sering takut. Tapi lama-lama saya belajar satu hal: tak semua tawa keras adalah ancaman. Kadang, itu cuma cara orang menutupi luka.
Mereka bukan selalu penjahat. Mereka hanya anak-anak yang terlalu cepat tumbuh tapi tak cukup didengarkan. Mereka haus pujian, tapi yang datang cuma tuduhan. Mereka ingin dikenali, tapi malah jadi kambing hitam dari rasa takut masyarakat.
Kadang yang mereka cari bukan kekerasan, tapi perasaan menjadi bagian dari sesuatu.
Kapan Kita Mulai Takut pada Anak Kita Sendiri?
Saya ingat satu malam, suara knalpot bising membelah gang tempat saya tinggal. Seorang ibu di rumah sebelah langsung menutup pintu. Tak lama, suaminya datang dari dalam dan berkata, "Anak-anak itu pasti geng motor."
Saya ingin bertanya, "Pernahkah kamu ajak satu dari mereka bicara?"
Tapi saya diam saja. Karena saya tahu, kita lebih sering memilih takut daripada penasaran. Lebih cepat menilai daripada memahami.
Saya pernah mengajar anak yang dituduh anggota geng motor. Namanya D, usia 17 tahun. Suatu kali, ia bilang pelan, "Saya nggak jahat, Pak. Tapi kalau saya nggak ikut mereka, saya sendirian."
Jalanan yang Tak Menyediakan Pilihan
Banyak dari mereka bukan memilih, tapi terlempar.