Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika Seragam Menjadi Beban: Refleksi dari Pamulang

17 Juli 2025   18:20 Diperbarui: 17 Juli 2025   18:20 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak seharusnya datang ke sekolah membawa mimpi, bukan beban tagihan seragam dari rekening pribadi. (Pexels)

Kasus dugaan pungutan liar di SD Negeri Ciledug Barat, Pamulang di mana seorang ibu diminta membayar Rp2,2 juta ke rekening pribadi kepala sekolah membuka tabir gelap pendidikan dasar kita. 

Apakah pendidikan negeri masih menjunjung nilai keadilan, atau telah menjadi ladang komersialisasi yang menyakitkan?

Saya membaca berita itu sambil mengerutkan dahi. Rasanya seperti menelan pil pahit di pagi hari. Seorang ibu di Pamulang harus membayar Rp2,2 juta untuk seragam dua anaknya yang pindah ke SD negeri. 

Bukan hanya soal nominal yang tak kecil, tapi juga soal caranya: uang diminta ditransfer ke rekening pribadi kepala sekolah. Sebagai pendidik dan orang tua, saya tercenung. Ini bukan sekadar berita, ini tamparan bagi nurani, panggilan untuk menguji nilai-nilai dasar yang kita anut dalam dunia pendidikan. (Kompas.com, 17/07/2025)

Pendidikan: Hak Dasar atau Komoditas?

Kita hidup di era ketika pendidikan diikrarkan sebagai hak dasar setiap warga negara. Namun, dalam praktiknya, pendidikan kerap berubah menjadi komoditas: sesuatu yang bisa diperjualbelikan, dinegosiasikan, bahkan dikomodifikasi oleh sistem. Pungutan liar, dalam bentuk apapun, adalah wajah gelap dari sistem yang secara diam-diam menjual harapan kepada mereka yang seharusnya dilayani.

Dalam peristiwa ini, kita melihat bagaimana kebutuhan dasar seperti seragam berubah menjadi simbol tekanan sosial dan ekonomi. Kita dipaksa merenung: mungkinkah kita telah kehilangan jiwa pendidikan itu sendiri? Jiwa yang semestinya mengangkat, bukan menundukkan.

Seperti yang dikatakan Paulo Freire, "Pendidikan tidak bisa netral. Ia membebaskan atau menindas." Jika pungutan dan tekanan terselubung dibiarkan, maka pendidikan telah memilih menjadi alat penindas.

Kepala Sekolah: Figur Etis atau Perpanjangan Administratif?

Kepala sekolah bukan sekadar pengelola administratif, tetapi laksana filsuf dalam dunia kecil bernama sekolah. Dialah penjaga nilai, penabur teladan, dan penanggung jawab moral. 

Ketika kepala sekolah meminta uang ditransfer ke rekening pribadinya, bukan hanya prosedur yang dilanggar, tetapi juga kepercayaan. Dan lebih dari itu, telah terjadi pergeseran paradigma: dari pelayanan ke otoritarianisme, dari moralitas ke mekanisme.

Namun, adilkah bila kita semata-mata menunjuk satu pihak tanpa menelisik akar sistemiknya? Bisa jadi kepala sekolah pun ditekan oleh tradisi kebijakan tak tertulis yang diam-diam dilembagakan. Barangkali ada tuntutan kultural dan struktural yang membuat para pemimpin sekolah berada di persimpangan antara norma dan kelangsungan operasional. Maka, kita perlu bertanya: sistem seperti apa yang telah membentuk budaya pungutan ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun