Banyak fitur mobil listrik hari ini terasa canggih padahal sudah pernah ada di masa lalu. Ini bukan soal teknologi semata, tapi soal bagaimana kita melihat ulang dunia.
"Ah, mobil listrik itu masa depan,"Â kata seorang teman sambil menunjuk Tesla yang melintas.
Saya hanya tersenyum. Sebagian dalam hati saya setuju, tapi sebagian lagi justru teringat pada mobil-mobil tua yang pernah saya lihat dalam dokumenter sejarah.Â
Anehnya, beberapa fitur mobil listrik yang disebut "canggih" hari ini... terasa familiar. Seperti pernah ada, meski dibungkus lebih ramping dan bersinar.
Ini Bukan Cuma Soal Inovasi Teknologi
Mobil listrik memang fenomena. Ia seperti simbol dari kesadaran baru: tentang lingkungan, efisiensi energi, dan gaya hidup modern.
Tapi jika kita berhenti sejenak dan benar-benar melihat, ada ironi kecil yang menggelitik:
Banyak hal yang hari ini terasa baru... ternyata sudah pernah ada. Hanya saja, dulu mereka belum punya panggung.
Regenerative Braking: Fitur Reinkarnasi
Pengereman regeneratif terdengar futuristik. Kita bisa mengisi ulang baterai hanya dengan menekan rem. Tapi fitur ini sebenarnya bukan penemuan dekade terakhir.
Pada 1967, sebuah mobil konsep bernama AMC Amitron sudah menggunakan sistem ini. Mobil kecil itu tak pernah diproduksi massal, tapi jejak teknologinya kini bangkit kembali.Â
Bedanya, sekarang kita menyebutnya revolusioner. Padahal... ia hanya bangkit dari tidur panjang.
Teknologi bukan hanya tentang menemukan sesuatu yang baru, tapi juga tentang kapan dunia siap untuk menerimanya.
One Pedal Driving: Konsep Lama dengan Nama Baru
Hari ini, fitur one pedal driving menjadi nilai jual utama mobil listrik. Melepas pedal gas membuat mobil otomatis melambat, bahkan berhenti. Praktis dan efisien.
Tapi sebetulnya, ini bukan sesuatu yang benar-benar baru.
Beberapa kendaraan listrik awal, bahkan kereta api listrik kuno, memiliki sistem serupa. Mereka tidak menyebutnya one pedal, tapi prinsipnya sama: perlambatan otomatis saat aliran listrik diputus.
Mungkin yang membedakan hanya bahasa iklan dan desain antarmuka.
Remote Control & App Integration: Kecanggihan atau Evolusi Biasa?
Kini kita bisa membuka mobil, menghidupkan AC, atau mengecek status baterai dari smartphone. Canggih? Tentu.
Tapi mari kita tarik mundur. Remote starter dan keyless entry sudah digunakan pada akhir 1990-an. BMW dan Mercedes-Benz sudah bermain dengan sistem serupa.
Perbedaannya hari ini: semuanya diintegrasikan lewat aplikasi. Teknologi baru? Tidak sepenuhnya. Tapi integrasinya itulah yang membuatnya terasa "ajaib".
Kita sering mengira sesuatu itu luar biasa, hanya karena kita lupa versi lamanya.
Desain Futuristik dengan Akar Retro
Banyak mobil listrik sekarang tampil dengan desain yang dianggap modern, minimalis, bahkan "alien". Tapi kalau kita perhatikan baik-baik, justru banyak yang mengambil inspirasi dari masa lalu.
Contoh paling gamblang: Hyundai Ioniq 5. Desainnya mengingatkan pada hatchback 80-an. Bahkan Honda e secara terang-terangan merujuk pada mobil kompak retro.
Seolah masa lalu dan masa depan duduk semeja, lalu berkata: "Yuk, kita buat sesuatu yang terasa baru, tapi tetap akrab."
Mobil Listrik dan Kenangan yang Menyamar
Saya teringat mobil kakek saya. Warnanya putih pudar, bentuknya kotak, dan kadang-kadang harus didorong agar mau menyala.
Tentu saja itu mobil bensin. Tapi perasaan yang saya rasakan waktu duduk di dalamnya tenang, tanpa suara, seolah dunia melambat anehnya mirip dengan yang saya rasakan saat naik mobil listrik untuk pertama kalinya.
Kadang, yang membuat sesuatu terasa "baru" bukan karena ia benar-benar baru, tapi karena kita melihatnya dengan mata yang berbeda.
Apakah Kita Benar-Benar Pindah ke Masa Depan?
Pertanyaan ini mengganggu saya beberapa malam. Apakah mobil listrik betul-betul simbol kemajuan? Atau justru bentuk pengulangan yang lebih halus, lebih tenang, dan lebih bisa diterima?
Dan yang lebih penting: apakah kita benar-benar siap?
Saya tidak bicara soal infrastruktur atau kebijakan. Saya bicara tentang kebiasaan, tentang kesediaan kita untuk melepaskan sesuatu yang sudah lama menemani: suara mesin, bau bensin, dan sensasi "menaklukkan jalan" ala mobil konvensional.
Ada Apa di Balik Semua Kecanggihan Ini?
Saya kira, yang membuat mobil listrik menarik bukan hanya teknologinya. Tapi juga cara ia mengingatkan kita:
Bahwa dunia bisa berubah, tapi tetap membawa serta jejak masa lalu.
Bahwa inovasi kadang datang dari ide yang tertunda.
Dan bahwa, mungkin, hanya mungkin, kita tidak sedang memasuki masa depan.
Kita sedang menata ulang masa lalu, agar lebih ramah, lebih tenang, dan lebih berkelanjutan.
Mobil listrik bukan hanya kendaraan, ia juga cermin: memperlihatkan siapa kita, dan ke mana kita ingin melaju.
Jadi, Kenapa Banyak Orang Beralih?
Apakah karena fitur? Atau karena janji tentang masa depan?
Bagi saya, alasannya sederhana. Mobil listrik menawarkan pengalaman. Bukan cuma kenyamanan tanpa suara, tapi juga kesadaran baru:
Bahwa berkendara tidak harus bising.
Bahwa kecepatan tidak selalu berarti hiruk-pikuk.
Bahwa teknologi bisa lembut, dan tidak perlu selalu "terlihat sibuk".
Penutup: Refleksi Kecil dari Sebuah Perjalanan
Saya tahu, mobil listrik bukan jawaban dari semua masalah. Masih ada tantangan besar: limbah baterai, produksi energi bersih, hingga harga yang belum terjangkau semua kalangan.
Tapi setidaknya, ini adalah langkah.
Langkah yang diambil bukan karena kita lebih pintar, tapi karena kita akhirnya sadar: kita tidak bisa terus hidup seperti dulu.
Dan seperti banyak fitur yang terasa baru padahal sudah lama ada, mungkin yang kita butuhkan bukan selalu hal baru. Tapi cara baru untuk melihat, mendengar, dan merasakan.
Termasuk dalam berkendara.
Termasuk dalam menjalani hidup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI