Saya tak tahu sekarang di mana dia. Tapi yang saya tahu, setelah kelas 6, ia berhenti sekolah.
Buku yang Tak Pernah Dibuka
Saya tidak sedang menyindir siapa-siapa. Buku paket itu memang berat. Baik secara harfiah maupun secara emosional. Berat karena harus dibawa pulang tiap hari, dan berat karena isinya tak pernah menjawab rasa ingin tahu kami yang sebenarnya.
Kami belajar tentang luar angkasa, tapi tidak pernah tahu bagaimana langit tampak dari teleskop sungguhan. Kami disuruh mencintai tanah air, tapi tak pernah diajak melihat sawah atau pasar yang membuat negeri ini hidup.
Kami dijejali materi, tapi tidak diajari makna.
Membaca buku bukan soal membuka halaman, tapi tentang membuka dunia. Dan dunia itu tidak selalu ada di dalam buku paket.
Lalu, siapa yang salah?
Entahlah. Mungkin bukan soal salah. Mungkin ini soal bagaimana kita entah sebagai guru, orang tua, masyarakat kadang terlalu sibuk mengejar kurikulum, hingga lupa melihat isi tas anak-anak: apakah di sana ada makanan? Apakah ada mimpi?
Retakan yang Tak Terlihat oleh Data
Saya tidak ingin bicara tentang angka kelulusan atau indeks prestasi. Karena yang ingin saya ceritakan tak ada di laporan itu. Retakan ini tak kasat mata. Ia muncul di tatapan kosong siswa saat disuruh menyebut cita-cita. Di gerakan lambat tangan yang mengangkat saat ditanya, "Siapa yang sudah sarapan hari ini?"
Saya pernah mengajar di sekolah pinggiran kota. Satu hal yang saya pelajari: yang terpenting tidak selalu bisa diukur. Seperti rasa malu karena seragam koyak. Atau rasa senang karena hari itu tidak dimarahi.
Kami menyuruh mereka bermimpi besar, tapi jarang memberi mereka alas untuk berpijak.
Mereka disuruh membuat peta jalan hidup, padahal tak punya peta ke sekolah.
Cita-cita itu tidak mati. Ia hanya tertidur di bawah meja, menunggu tangan dewasa mengangkatnya lagi.
Bagaimana Seharusnya Kita Mendengar?
Dulu saya pikir mengajar adalah soal menyampaikan. Sekarang saya belajar bahwa mengajar adalah soal mendengarkan.