Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bangku Kayu yang Retak, Buku Paket yang Tak Dibuka, dan Cita-cita yang Tertinggal di Kolong Meja

26 Juni 2025   06:15 Diperbarui: 29 Juni 2025   08:16 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak duduk di bangku kayu retak dengan buku terbuka di meja—seolah menunggu mimpinya dipanggil kembali. (Pexels)

Saya pernah duduk di bangku itu. Bangku kayu tua dengan paku-paku mencuat dan goresan nama anak-anak yang mungkin sudah lupa pernah menulisnya.

Itu bukan metafora. Itu bangku sungguhan. Saya duduk di sana bertahun-tahun lalu, saat hujan masih mudah membuat atap sekolah kami bocor, dan kami lebih sering belajar sambil menggeser meja agar tidak kena cipratan. Di kelas itu, kami belajar tentang sudut, kata penghubung, dan pahlawan nasional. Semuanya dari buku paket yang lebih sering tersimpan rapi di laci, tak sempat kami buka kecuali saat ulangan tiba.

Saya ingin mulai dari sini karena ada yang ingin saya ceritakan. Bukan tentang saya. Tapi tentang anak-anak yang masih duduk di bangku itu sekarang.

Bagaimana Rasanya Tumbuh di Sekolah yang Bangkunya Retak?

Saya tahu rasanya. Dan saya yakin, kamu juga tahu atau setidaknya, pernah melihatnya.

Bangku itu tidak hanya retak karena usia. Ia menyimpan beban tubuh yang tumbuh terlalu cepat untuk ukuran kelas yang terlalu sempit. Di bangku itu, anak-anak menuliskan harapan dengan pensil tumpul dan mimpi yang belum sempat diberi warna.

Kata orang, pendidikan adalah jalan menuju masa depan. Tapi bagaimana jika jalan itu berlubang? Apa jadinya masa depan bila bangkunya retak, bukunya usang, dan guru datang dengan raut lelah karena honor belum turun?

Anak-anak tak pernah kekurangan cita-cita. Tapi sistem yang membuat mereka kehabisan cara untuk mencapainya.

Saya pernah mendengar seorang anak berkata: "Pak, saya ingin jadi dokter, tapi tak ada uang untuk ke SMA." Kalimat itu seperti ditelan angin. Tak ada yang mencatat. Tak ada yang menjawab.

Saya yang mendengarnya hanya bisa mengangguk pelan. Bukan karena setuju, tapi karena tak tahu harus menjawab apa.

Apa yang Tertinggal di Kolong Meja?

Kolong meja itu tempat yang sering kami pakai menyimpan apa pun: sendal jepit, sisa kue dari bekal, kertas ulangan, kadang juga mimpi.

Mimpi yang mulai menguning karena terlalu lama menunggu giliran. Di bawah meja, kami sering diam-diam menangis, atau menggambar masa depan yang hanya bisa kami lihat diam-diam, karena terlalu mewah untuk diucapkan.

Saya masih ingat, ada seorang teman bernama Riko. Ia pandai sekali menggambar. Tapi tak pernah dapat nilai tinggi karena menggambarnya bukan di jam pelajaran. Ia menggambar di ujung buku paket, yang seharusnya untuk latihan soal. Suatu hari, ia bilang, "Kalau besar saya mau kerja di kota dan bikin komik sendiri."

Saya tak tahu sekarang di mana dia. Tapi yang saya tahu, setelah kelas 6, ia berhenti sekolah.

Buku yang Tak Pernah Dibuka

Saya tidak sedang menyindir siapa-siapa. Buku paket itu memang berat. Baik secara harfiah maupun secara emosional. Berat karena harus dibawa pulang tiap hari, dan berat karena isinya tak pernah menjawab rasa ingin tahu kami yang sebenarnya.

Kami belajar tentang luar angkasa, tapi tidak pernah tahu bagaimana langit tampak dari teleskop sungguhan. Kami disuruh mencintai tanah air, tapi tak pernah diajak melihat sawah atau pasar yang membuat negeri ini hidup.

Kami dijejali materi, tapi tidak diajari makna.

Membaca buku bukan soal membuka halaman, tapi tentang membuka dunia. Dan dunia itu tidak selalu ada di dalam buku paket.

Lalu, siapa yang salah?

Entahlah. Mungkin bukan soal salah. Mungkin ini soal bagaimana kita entah sebagai guru, orang tua, masyarakat kadang terlalu sibuk mengejar kurikulum, hingga lupa melihat isi tas anak-anak: apakah di sana ada makanan? Apakah ada mimpi?

Retakan yang Tak Terlihat oleh Data

Saya tidak ingin bicara tentang angka kelulusan atau indeks prestasi. Karena yang ingin saya ceritakan tak ada di laporan itu. Retakan ini tak kasat mata. Ia muncul di tatapan kosong siswa saat disuruh menyebut cita-cita. Di gerakan lambat tangan yang mengangkat saat ditanya, "Siapa yang sudah sarapan hari ini?"

Saya pernah mengajar di sekolah pinggiran kota. Satu hal yang saya pelajari: yang terpenting tidak selalu bisa diukur. Seperti rasa malu karena seragam koyak. Atau rasa senang karena hari itu tidak dimarahi.

Kami menyuruh mereka bermimpi besar, tapi jarang memberi mereka alas untuk berpijak.

Mereka disuruh membuat peta jalan hidup, padahal tak punya peta ke sekolah.

Cita-cita itu tidak mati. Ia hanya tertidur di bawah meja, menunggu tangan dewasa mengangkatnya lagi.

Bagaimana Seharusnya Kita Mendengar?

Dulu saya pikir mengajar adalah soal menyampaikan. Sekarang saya belajar bahwa mengajar adalah soal mendengarkan.

Mendengarkan anak-anak yang bicara pelan karena takut salah. Mendengarkan tawa mereka yang ditahan saat tidak lucu. Mendengarkan diam mereka saat ingin bicara tapi tak ada yang bertanya.

Kadang kita terlalu fokus pada yang terdengar keras. Nilai tinggi. Ranking. Prestasi. Tapi lupa bahwa hal paling menyentuh dalam hidup sering datang dalam bisikan.

Saya mulai menyukai jeda di tengah pelajaran, saat anak-anak mulai bercerita: tentang ayam mereka yang bertelur, tentang ibunya yang sakit, atau tentang mainan dari sisa kayu.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Tidak semua orang bisa membenahi sistem. Tapi semua orang bisa menjadi sistem penyangga untuk satu anak.

Mungkin kamu tidak bisa membangun gedung sekolah baru. Tapi kamu bisa menemani satu anak membaca. Mungkin kamu tidak bisa mengubah kurikulum. Tapi kamu bisa membuat satu anak merasa dihargai.

Kadang, perubahan besar dimulai dari satu tangan yang memungut mimpi kecil dari kolong meja.

Saya menulis ini bukan untuk mengeluh. Tapi untuk mengingatkan bahwa pendidikan bukan soal fasilitas saja, tapi tentang perhatian. Bukan tentang seragam rapi, tapi tentang rasa aman. Bukan soal ranking, tapi tentang rasa cukup.

Di Antara Retakan, Ada Cahaya

Saya percaya, tak ada yang sia-sia. Bahkan bangku kayu yang retak pun masih bisa menyangga tubuh yang ingin belajar. Bahkan buku yang tak dibuka pun bisa menyimpan harapan, jika suatu hari ada yang membacanya.

Dan cita-cita yang tertinggal di kolong meja? Ia tidak hilang.

Ia hanya menunggu seseorang entah kamu, saya, atau siapa pun untuk merunduk, mengulurkan tangan, dan berkata:

Ayo, kita lanjutkan mimpi ini. Meski perlahan. Meski dengan cara yang berbeda.

Jika kamu mengenal anak-anak yang masih duduk di bangku yang retak, jangan tanya mereka mau jadi apa. Tanyalah: "Apa yang kamu suka? Siapa yang kamu ingin bahagiakan? Apa yang membuatmu penasaran hari ini?" Pertanyaan-pertanyaan itu lebih penting daripada semua soal pilihan ganda yang pernah mereka temui.

Yang menyentuh bukan bangku yang utuh, tapi mimpi yang tetap tumbuh di atasnya meski sudah retak.

Karena pendidikan sejati bukan soal bangunan. Tapi soal keberanian mencintai di tengah segala yang kurang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun