Aku melihatnya lagi hari ini.
Duduk di bangku taman yang sama, mengenakan sweter abu-abu yang sudah mulai berbulu, sambil menatap burung-burung yang mematuki remah roti di tanah. Hanya satu perbedaan dari hari-hari sebelumnya: tangannya kini gemetar saat menyobek roti.
"Apa kau masih menunggunya?" tanyaku akhirnya, setelah tiga minggu hanya saling bertukar anggukan.
Ia tersenyum. Tipis. Lalu berkata, "Aku tak tahu apakah ini masih menunggu, atau hanya kebiasaan yang tak tahu cara berhenti."
Kami duduk lama tanpa banyak kata. Angin sore meniup daun kering ke arah sepatu kami. Saat itu, aku belum tahu apa yang membuatku terus kembali ke taman ini, setiap Kamis. Tapi sekarang, aku mengerti: aku sedang menunggu cerita.
Namanya Pak Bram. Ia datang ke taman sejak istrinya meninggal lima tahun lalu.
Katanya, dulu taman ini tempat mereka bertemu pertama kali. Di bangku yang sama. Sore yang sama. Saat hujan hampir turun tapi belum benar-benar deras.Â
Perempuan itu, Alma namanya. Ia mengulurkan payung ke arah lelaki asing yang sedang membaca buku dengan wajah serius. Dan sejak itu, waktu mereka berdua berjalan beriringan.
Saya jatuh cinta bukan karena ia cantik," katanya suatu Kamis, "tapi karena ia tidak pernah tergesa. Bahkan saat saya diam, ia tahu diam saya tidak selalu berarti sedih.
Aku diam saat ia bercerita. Kadang, aku ingin bertanya lebih banyak. Tapi ada saat-saat ketika pertanyaan hanya akan merusak sesuatu yang sudah rapuh. Jadi aku hanya duduk di sampingnya, memberi ruang.
Suatu hari, ia membawa kotak makan kecil. Ditaruhnya di bangku, di sampingnya.
Dulu, dia selalu membawa bekal. Bukan karena hemat. Tapi katanya, cinta itu memasak nasi yang tak terlalu pera, tak terlalu lembek. Seimbang.
Ia tertawa kecil. Matanya berkaca. Aku tak tahu harus ikut tertawa atau menoleh ke arah lain.
Aku baru tahu istrinya meninggal karena Alzheimer.
Tiga tahun pertama, Alma mulai lupa jalan pulang. Kadang lupa nama sendiri. Tapi yang paling menyakitkan, kata Pak Bram, adalah saat Alma duduk di bangku itu, menatapnya, dan bertanya, "Maaf, kita pernah kenal?"
Waktu itu, saya hanya tersenyum dan bilang, 'Belum. Tapi saya harap kita bisa jadi teman.'
Ia tak pernah marah. Tak pernah memaksa Alma untuk mengingat.
Ia bilang, cinta sejati bukan tentang dikenang tapi tentang tetap memilih tinggal, bahkan saat tak ada lagi yang mengenalmu.