Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengapa Kita Suka Menunda-nunda Mencuci Piring? Jawabannya Mungkin Ada di Kesehatan Mentalmu

4 Juni 2025   09:48 Diperbarui: 4 Juni 2025   09:48 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugas kecil seperti mencuci piring bisa terasa berat saat pikiran kita lelah—bukan soal malas, tapi soal energi mental.  (Pexels)

Menunda mencuci piring bukan cuma soal malas. Ada kelelahan emosional di balik tumpukan piring yang bisa memengaruhi kesehatan mental kita. 

Kalau kamu termasuk orang yang bisa dengan enteng menunda mencuci piring sampai tumpukannya menyentuh langit-langit dapur, kamu tidak sendirian. Aku juga pernah begitu dan kadang masih. Piring-piring kotor yang awalnya hanya satu atau dua, pelan-pelan berubah jadi monumen kecil kekacauan. Lucunya, sering kali aku sadar bahwa membiarkannya justru bikin suasana rumah dan hati jadi sumpek. Tapi entah kenapa, tetap saja, aku sering bilang, "Nanti aja, ah."

Tapi ini bukan cuma soal piring.

Ini soal kita.

Dan kebiasaan kecil yang diam-diam mengganggu produktivitas, bahkan kesehatan mental kita. Ya, kedengarannya sepele. Tapi mari kita gali lebih dalam. Kenapa sih, tugas sekecil itu terasa berat? Apa yang sebenarnya terjadi di balik piring-piring kotor yang terus kita abaikan?

Bukan Soal Waktu, Tapi Soal Energi Emosional

Kebanyakan dari kita punya waktu 5=10 menit untuk mencuci piring. Tapi waktu bukanlah penghalang utamanya. Yang jadi batu sandungan sering kali adalah energi emosional.

Ada kalanya kita menunda mencuci piring karena sedang capek secara mental, bukan fisik. Setelah seharian kerja, mengurus anak, atau bergelut dengan pikiran sendiri, bahkan aktivitas sederhana seperti mencuci piring terasa seperti pekerjaan raksasa. Di kepala, piring kotor bukan hanya benda. Ia jadi simbol kelelahan.

Kadang kita menunda bukan karena tak punya waktu, tapi karena lelah yang tak terlihat—kelelahan emosional yang membuat piring kotor terasa seperti gunung.

Dan otak kita tidak selalu logis. Ia mencari kenyamanan, bukan kewajiban. Menunda-nunda itu kadang bentuk perlindungan diri. Padahal justru dengan menunda, beban emosi malah bertambah. Tapi kita tetap melakukannya. Karena dalam banyak kasus, yang kita hindari bukan tugasnya, tapi sensasi yang ditimbulkan: bosan, terpaksa, atau merasa kewalahan.

Efek Domino dari Sebuah Tumpukan

Yang menarik, satu piring kotor bisa menimbulkan efek domino. Kita jadi malas membereskan dapur. Lalu tempat makan berantakan. Lalu kita malas masak dan lebih sering pesan makanan cepat saji. Lalu sampah menumpuk. Dan tiba-tiba kita merasa rumah bukan lagi tempat yang menyenangkan.

Piring-piring itu diam-diam mengatur mood kita. Penelitian dalam bidang psikologi lingkungan menunjukkan bahwa kekacauan visual (seperti tumpukan piring) bisa meningkatkan stres dan mengganggu fokus. Mata kita menangkap "pekerjaan yang belum selesai" sebagai ancaman ringan. Efeknya? Kita lebih mudah kesal, sulit konsentrasi, dan rentan menunda hal-hal lain.

Yang berat bukan mencuci piringnya, tapi menghadapi lelah yang tak kasatmata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun