Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anak-Anak Kita, Layar, dan Luka yang Tak Terlihat

15 Mei 2025   15:29 Diperbarui: 15 Mei 2025   18:26 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak kita sedang tumbuh di antara algoritma dan ekspektasi, di ruang yang kadang lupa mengajarkan empati. (Pixbay)

Saya pernah menangkap basah anak saya - kelas 5 SD - sedang menonton video yang sama sekali bukan untuk usianya. Saya tidak marah. Hanya diam. Sambil menatap layar kecil itu, saya merasa seperti orang asing di rumah saya sendiri.

Kami yang dewasa terlalu mudah berpikir bahwa anak-anak belum mengerti apa-apa. Tapi mereka hidup di zaman yang tak menunggu kedewasaan untuk menyodorkan semua kemungkinan baik maupun buruk. 

Dalam sekali klik, dunia terbuka. Dan seringkali, kita terlambat menyadari bahwa dunia itu bisa juga mencabik.

Saya ingat waktu kecil dulu, hiburan saya adalah TPI yang penuh dengan sandiwara radio visual, atau kaset tape recorder yang harus dipinjamkan bapak dari tetangga. 

Sekarang, anak-anak tumbuh bersama TikTok, Instagram, dan X platform yang bisa memperkaya imajinasi, sekaligus menumpulkan empati jika tidak disaring dengan bijak.

Ketika saya mendengar bahwa pemerintah memberi waktu dua tahun bagi platform media sosial untuk menyesuaikan diri melalui PP Tunas, saya termenung. Dua tahun bukan waktu yang sebentar, tapi juga bukan waktu yang lama jika menyangkut anak-anak.

Masa Kecil yang Diculik Layar

Saya seorang guru. Di kelas, saya melihat anak-anak yang cerdas, penuh tanya, dan haus perhatian. Tapi saya juga melihat anak-anak yang matanya sayu, telinganya tak lagi peka, dan jari-jarinya lebih lincah menggeser layar daripada membuka halaman buku. 

Saya tidak sedang menghakimi, hanya sedang jujur.

Beberapa waktu lalu, saya berdialog dengan salah satu murid saya, sebut saja Nisa. Ia kelas X SMK dan suka menggambar. Tapi akhir-akhir ini, ia menjadi lebih murung. Setelah ditanya pelan-pelan, ternyata ia mengalami cyberbullying karena hasil gambarnya yang diunggah di TikTok dianggap "jelek" oleh akun anonim. Akun yang, kemungkinan besar, juga milik anak-anak seusianya.

Saat itu saya merasa gagal. Bukan sebagai guru, tapi sebagai bagian dari sistem yang membiarkan anak-anak saling menyakiti dengan cara yang tidak terlihat. 

Platform digital sudah menjadi ruang bermain baru bagi anak-anak, tapi kita belum cukup dewasa untuk memastikan itu ruang yang aman.

Regulasi, Teknologi, dan Realitas Sosial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun