Beberapa tahun belakangan ini, kita menyaksikan wajah baru premanisme: mereka tak lagi mengenakan kaos oblong dan celana robek. Mereka memakai rompi organisasi. Punya stempel. Bahkan punya struktur.
Ormas yang seharusnya menjadi alat gotong royong justru berubah menjadi simbol kuasa. Di beberapa wilayah, ormas ini menjadi aktor yang mengatur lalu lintas, mengelola pasar, bahkan mengintimidasi wartawan.Â
"Ketika premanisme masuk ke dalam sistem sosial, kita bukan hanya menghadapi pelaku, tapi juga budaya yang mendiamkan."
Ini bukan sekadar aksi massa. Ini adalah pembiaran yang sudah lama mengakar. Ketika negara terlalu sibuk, dan rakyat terlalu lelah untuk melawan, maka ketertiban diambil alih oleh siapa pun yang berani mengklaimnya.
Ketika Kekuasaan Tak Lagi Butuh Legitimasi
Premanisme tumbuh subur karena ia menawarkan tiga hal: kekuasaan instan, rasa aman palsu, dan identitas yang kuat.
Bayangkan jadi seseorang yang setiap hari ditolak di dunia kerja, dihina karena tak sekolah tinggi, dan diremehkan karena tak punya modal. Lalu datanglah sekelompok orang yang berkata, "Kamu kuat, kamu punya tempat di sini." Maka rompi bukan sekadar seragam. Ia menjadi simbol bahwa seseorang punya kuasa meski kecil atas hidupnya.
Tapi ketika kekuasaan lahir bukan dari kepercayaan, melainkan dari rasa takut, maka kita menciptakan lingkaran kekerasan yang tak berujung.
"Premanisme bukan hanya soal siapa yang memukul duluan, tapi soal siapa yang lebih dulu kehilangan harapan."
Apa yang Kita Takuti, dan Apa yang Kita Biarkan
Seringkali kita bertanya, "Mengapa premanisme masih ada di negeri ini?" Jawabannya bukan cuma soal hukum, tapi juga soal budaya diam. Kita terbiasa takut, terbiasa pasrah, terbiasa berpikir, "Ah, bukan urusanku."
Tapi tiap kali kita membiarkan ketakutan mengatur ruang publik, kita sedang menyerahkan kendali kepada mereka yang paling lantang berteriak. Dan celakanya, seringkali yang berteriak bukanlah yang paling benar, melainkan yang paling nekat.
"Yang membuat premanisme kuat bukan karena kita lemah, tapi karena kita terlalu sering membiarkan."