Premanisme kerap dianggap sekadar kriminalitas, tapi sesungguhnya ia adalah gejala dari ketimpangan sosial yang tak pernah selesai. Dalam tulisan ini, saya mengajak Anda menelusuri sisi kemanusiaan di balik kekerasan yang salah arah.
Preman bukan hanya soal otot dan ancaman. Di balik rompi dan tatapan garang itu, ada kisah panjang tentang kegagalan sistem yang kita anggap wajar.Â
Lalu, ketika mereka mulai mengatur jalan, pasar, bahkan menekan jurnalis: apakah kita masih bisa menyebut ini sekadar kenakalan pinggir jalan?Â
Atau inilah saatnya kita jujur: premanisme adalah anak kandung dari ketimpangan yang kita biarkan tumbuh diam-diam.Â
Premanisme: Gejala dari Ketimpangan yang Diabaikan
Banyak orang menilai preman sebagai kriminal. Titik. Tapi jika kita berani menelusuri akar-akarnya, kita akan melihat sesuatu yang lebih rumit: premanisme adalah refleksi dari ketimpangan yang dipelihara, entah sengaja atau tidak.
Mereka yang disebut preman itu seringkali adalah mereka yang tak punya ruang di sistem formal. Tak cukup sekolah, tak punya akses kerja yang layak, dan hidup dalam ketidakpastian.Â
Dalam kondisi seperti itu, membentuk kelompok, memperlihatkan otot, dan membangun rasa takut adalah cara bertahan hidup.
Lantas, siapa yang salah?
Negara yang abai? Sistem ekonomi yang timpang? Atau masyarakat yang justru diam saat ketakutan diorganisir jadi kekuasaan?
"Premanisme adalah suara keras dari mereka yang merasa dikucilkan meski suara itu keluar lewat cara yang menyakiti."