Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

02 Mei Bukan Sekadar Tanggal, Tapi Nyawa Perjuangan Pendidikan

2 Mei 2025   04:35 Diperbarui: 2 Mei 2025   04:35 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di balik senyum guru dan semangat murid, pendidikan hidup dalam hal-hal sederhana yang sering tak terlihat. (Sumber: Pixbay)

Hari ini bukan cuma 2 Mei. Ini tentang nyawa perjuangan di balik papan tulis, suara anak-anak, dan hati para guru yang tak pernah lelah mencintai.

Hari ini, 02 Mei. Saya duduk di ruang makan. Secangkir kopi yang mulai dingin menemani pagi yang hening, dan entah kenapa, hari ini saya lebih banyak diam.

Ucapan selamat Hari Pendidikan Nasional sudah masuk ke ponsel saya sejak subuh grup WhatsApp guru, media sosial, dan pesan pribadi dari murid-murid yang dulu pernah saya ajar.

Tapi sebelum saya membalas atau ikut membagikan kata-kata indah, saya ingin menulis ini dulu. Sebuah refleksi. Tentang mengapa hari ini bukan sekadar tanggal merah di kalender pendidikan.

Pendidikan Itu Nyawa, Bukan Agenda Tahunan

Terkadang, Hari Pendidikan Nasional hanya lewat sebagai seremoni. Upacara, kirim-kirim twibbon, unggahan bertema pendidikan di media sosial, lalu selesai. Padahal, kalau kita renungkan lebih dalam, tanggal 2 Mei adalah pengingat bahwa pendidikan di negeri ini dibangun dari napas perjuangan.

Hari pendidikan bukan proyek tahunan, tapi darah dan keringat yang terus mengalir setiap hari di ruang kelas, di rumah, di jalanan, di tempat-tempat yang bahkan tidak kita pikirkan sebagai "tempat belajar."

Ki Hajar Dewantara tidak pernah membayangkan pendidikan sekadar soal nilai rapor atau akreditasi sekolah. Ia bicara tentang merdeka dalam berpikir, tumbuh sesuai kodrat, dan menghargai tiap anak sebagai manusia utuh. Prinsip yang indah, tapi seringkali hilang di tengah kurikulum yang berubah-ubah dan target yang menekan.

Ketika Mengajar Bukan Lagi Sekadar Tugas

Saya seorang guru. Tapi lebih dari itu, saya adalah saksi dari begitu banyak cerita di kelas. Tentang anak-anak yang datang tanpa sarapan tapi tetap ceria. Tentang siswa yang tampak pendiam tapi punya dunia penuh warna dalam coretan bukunya. Tentang murid yang susah fokus bukan karena malas, tapi karena semalam tidur larut membantu orang tuanya jualan. Semua itu mengingatkan saya bahwa pendidikan bukan cuma soal mengajar, tapi tentang memahami.

Mengajar bukan hanya memindahkan isi buku ke kepala siswa. Mengajar adalah tentang menyalakan semangat. Tentang memastikan setiap anak merasa cukup berarti untuk terus datang ke sekolah. Tentang membangun kepercayaan diri yang kadang sudah lebih dulu runtuh di rumah atau lingkungan. Dan tak jarang, mengajar juga berarti diam sejenak, menunda materi, hanya untuk mendengarkan satu anak yang hari itu sedang ingin didengar.

Sekolah yang Tak Hanya Menghasilkan Nilai

Saya percaya, sekolah ideal bukan sekolah dengan nilai UN tertinggi. Tapi sekolah yang membuat anak merasa pulang ke tempat yang aman. Tempat di mana ia tak takut salah. Tempat yang memberinya ruang tumbuh, bukan tempat yang mengekangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun