"Di balik setiap garis kapur di papan tulis, ada harapan yang disisipkan diam-diam. Ada guru yang tidak hanya mengajar, tapi mendengar. Tidak sekadar menjelaskan, tapi percaya. Ini bukan kisah tentang profesi. Ini tentang hati yang memilih tetap tinggal, meski lelah, demi satu alasan sederhana: karena percaya bahwa satu anak yang dipahami, bisa jadi satu dunia yang berubah."
Saat Kapur Pertama Kali Menyentuh Jari Saya
Saya masih ingat hari itu, belasan tahun lalu, saat untuk pertama kalinya saya berdiri di depan kelas, menggenggam sebatang kapur yang terasa ringan di tangan tapi berat di dada. hahaha....
Anak-anak di bangku depan menatap dengan penuh rasa ingin tahu. Mereka belum mengenal saya, dan saya pun belum mengenal mereka. Tapi di titik itu, saya tahu: hidup saya takkan lagi sama.
Saya bukan berasal dari keluarga guru. Dunia pendidikan bukan hal yang akrab sejak kecil. Tapi entah bagaimana, saya merasa tertarik pada ruang kelas, pada papan tulis, pada suara-suara yang bersahutan antara tanya dan jawab. Mungkin karena saya pernah punya guru yang mengubah cara saya memandang dunia. Atau mungkin karena saya percaya bahwa di balik ilmu pengetahuan, ada relasi manusia yang tulus dan itu yang membuat saya betah.
Papan Tulis Itu Bukan Sekadar Tempat Menulis Rumus
Setiap hari, saya berdiri di depan papan tulis. Menulis rumus, menggambar diagram, mencoret-coret ide. Tapi di balik itu semua, saya sedang mencoba menjembatani mimpi. Saya tahu, bagi sebagian murid, pelajaran bukanlah prioritas. Ada yang datang ke sekolah dengan perut kosong, ada yang pulang untuk bekerja membantu orang tua, dan ada pula yang setiap hari bergumul dengan rasa tidak percaya diri.
Saya pernah melihat seorang siswa diam seribu bahasa selama sebulan penuh, lalu suatu hari ia bertanya pelan, "Pak, kenapa kita harus belajar ini?" Bukan dengan nada membangkang, tapi dengan wajah yang jujur. Saya diam. Lalu saya jawab, "Supaya kamu tahu, kamu bisa lebih dari yang kamu pikirkan."
Di balik papan tulis, saya menyadari satu hal penting: menjadi guru bukan soal seberapa hebat kita menguasai materi, tapi seberapa dalam kita mampu memahami manusia. Setiap coretan di papan, setiap kalimat yang saya ucapkan, adalah upaya untuk menjangkau hati mereka yang kadang tak bisa bicara.
Guru Bukan Hanya Mengajar, Tapi Mendengar
Dulu saya pikir, guru adalah orang yang harus selalu punya jawaban. Tapi kini saya tahu, kadang yang paling dibutuhkan murid adalah seseorang yang mau mendengarkan, tanpa terburu-buru menghakimi atau memberi solusi. Murid-murid saya tidak semuanya pintar secara akademis, tapi mereka semua punya cerita. Dan kadang, cerita itu lebih penting dari nilai.
Saya ingat seorang siswa yang sering tidur di kelas. Awalnya saya kesal. Tapi setelah saya ajak bicara, saya tahu ia bekerja membantu keluarganya. Tidurnya di kelas bukan karena malas, tapi karena lelah. Sejak itu, saya ubah pendekatan. Saya beri dia waktu istirahat, tapi juga dorongan agar tetap semangat. Lama-lama dia pun bangkit. Bukan karena saya hebat, tapi karena saya berhenti menilai dan mulai mendengar.
Di balik papan tulis, saya belajar bahwa menjadi guru adalah tentang menumbuhkan, bukan sekadar mengajar. Tentang membuka ruang bagi anak-anak untuk tumbuh sesuai bentuknya, bukan membentuk mereka sesuai kemauan kita.