Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... Lainnya - Pencari Makna

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Nature

Menemukan Jalan Emas dalam Budaya Manggarai Menuju Penanggulangan Bencana Alam Indonesia

11 Agustus 2019   13:17 Diperbarui: 11 Agustus 2019   13:33 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dari sekian banyak budaya di Indonesia yang telah disebutkan di atas terdapat satu budaya yang unik dan khas yaitu budaya Manggarai. Sebagai salah satu budaya yang unik dan khas, budaya Manggarai memiliki sistem pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat untuk mengatur hubungannya dengan Tuhan, sesama dan lingkungannya.

Pengertian budaya Manggarai yang dimaksudkan di sini tidak dipahami secara pembagian administrasi pemerintahan. Secara administrasi pemerintahan Manggarai dibagi atas tiga wilayah yaitu Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Timur dan Kabupaten Manggarai Barat. Konsep budaya Manggarai mencakupi tiga wilayah administrasi pemerintahan tersebut.

Untuk bisa mengetahui bagaimana orang Manggarai menyikapi bencana dapat kita telusuri dari bagaimana ia menjalin relasinya dengan Tuhan, sesama dan lingkungan dan bahkan relasi dengan dirinya sendiri. Bentuk relasi ini hanya dapat dilihat dalam kegiatan ritual adatnya, hasil karya seni dan cipta orang Manggarai itu sendiri.

Pertama, Upacara Penti.[3] 

Upacara Penti adalah upacara syukur. Ketika seseorang menyebut kata "penti" dalam budaya Manggarai, orang-orang Manggarai akan mengarahkan pikirannya pada suatu upacara syukur meriah. Penti dilakukan sebagai tanda syukur kepada Mori Jari Dedek (Tuhan Pencipta) dan kepada arwah nenek moyang atas semua hasil jerih payah yang telah diperoleh dan dinikmati.

Penti juga merupakan tanda celung cekeng wali ntaung (musim yang berganti dan tahun yang beralih). Upacara ini biasa dilakukan setelah semua panenan rampung (sekitar Juni-September). Jikalau sanggup, acara ini dilakukan setiap tahun tetapi seringkali tiga atau lima tahun sekali. Ada keyakinan bahwa jika acara ini tidak dilakukan, akan membuat Mori Jari Dedek marah. Kalau Tuhan marah maka akan ada bencana-bencana yang menimpa masyarakat Manggarai.

Situasi lain yang dijadikan alasan untuk dilaksakannya upacara penti adalah maraknya kasus perselingkuhan, hasil panen berkurang, air bersih makin sulit, pengangguran meningkat, angka putus sekolah terus bertambah, dan berbagai persoalan lainnya. Dari sisi logika ilmu pengetahuan, persoalan-persoalan tersebut dapat saja dijelaskan. Misalnya, meningkatnya warga yang sakit dan meninggal dunia, barangkali karena tidak menjaga kesehatan dan kebersihan.

Masalah gagal panen, bisa saja terjadi karena musim kemarau atau musim hujan yang berkepanjangan. Sementara masalah perselingkuan, mungkin saja terjadi karena sering nonton sinetron di televisi atau pengaruh tiap warga memiliki handphone sehingga komunikasi menjadi mudah. Namun berdasarkan kepercayaan masyarakat Manggarai bahwa gejala-gejala seperti itu sebagai tanda ada yang salah dalam kehidupan bersama dalam masyarakat.

Malapetaka-malapetaka yang terjadi sebagai dampak atas penyimpangan terhadap tatanan nilai-nilai dan norma-norma moral tradisional yang ada. Karena itu, untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut harus dilakukan ruwatan atau bersih-bersih kampung.[4] Upacara penti terdiri dari beberapa babak, yaitu:

  • Upacara pra-penti.
  • Upacara pra-penti biasa dikenal dengan upacara Podo Tenggeng (mempersembahkan kepincangan atau kekurangan). Upacara ini lakukan pada pagi hari. Tujuan acara ini adalah untuk mempersembahkan segala kekurangan agar dalam tahun berikutnya semua bencana kelaparan dijauhkan atau dibuang. Hewan persembahannya adalah seekor babi kecil, seekor ayam kecil yang berbulu hitam, dan juga peralatan yang tak terpakai karena rusak seperti keranjang rusak, bakul rusak, periuk pecah. Benda-benda itu melambangkan kepincangan hidup dan kekurangan dalam kehidupan ekonomi. Hewan dan alat-alat itu dibawa ke tempat upacara, yaitu cunga (tempat pertemuan dua sungai, muara). Rumusan inti doa di tempat itu adalah: "Ho'o lami ela miteng agu manuk miteng, kudut kandod sangged rucuk agu ringgang landing toe ita hang ciwal, toe haeng hang mane. Porong ngger laus hentet, ngger ce'es mbehok, kudut one waes laud one lesos saled" (Kami mempersembahkan seekor babi dan seekor ayam, semuanya berwarna hitam, sebagai tanda penolak kelaparan. Biarlah semua bencana kelaparan hanyut di sungai ini bersama darah babi dan ayam ini serta bersama terbenamnya matahari). Selanjutnya, ayam dan babi itu dibunuh, digantungkan pada kayu cabang yang dipancang di tempat upacara. Kemudian, bersama dengan peralatan yang rusak itu, babi dan ayam itu dihanyutkan. Sebelum meninggalkan tempat itu, semua parang atau pisau yang digunakan untuk membunuh harus dibersihkan di sungai itu. Kemudian semua orang pulang ke kampung dengan syarat tidak menoleh ke belakang agar segala kekurangan itu tidak lagi mengikutinya dari belakang.
  • Upacara penti. Upacara ini terbagi dalam beberapa bagian, yakni: Barong Wae Teku, Barong Compang, Libur Kilo, Wae Owak, Tudak Penti (upacara puncak)
  • Barong Wae Teku.
  • Arti upacara Barong Wae Teku adalah penyampaian syukur sekaligus penghormatan kepada Tuhan, karena Tuhan sudah memberikan air untuk memenuhi kebutuhan warga. Pada upacara ini disampaikan juga permohonan agar kebutuhan akan makanan tercukupi, dijauhkan dari segala gangguan yang merusakkan air dan permohonan agar air memberikan kesegaran bagi jiwa dan raga. Upacara Barong wae Teku biasanya dilakukan pada sumber mata air kampung
  • Barong Compang.
  • Barong Compang adalah upacara yang dilakukan di Compang.[5] Arti upacara Barong Compang adalah penyampaian permohonan perlindungan atas seluruh kampung, permohonan untuk dijauhkan dari gangguan wabah penyakit, dijauhkan dari gangguan manusia dan gangguan setan, dijauhkan dari gangguan kesehatan. Warga bersatu untuk bersama-sama menyampaikan syukur atas semua kebaikan Tuhan yang telah diperoleh dalam tahun yang sudah dilewati, dan mohon lagi perlindungan, bimbingan serta berkat untuk hidup selanjutnya. Kemudian ayam disembelih dan seterusnya dibuat helang.[6]
  • Libur Kilo.
  • Upacara libur kilo adalah syukuran keluarga. Bahan persembahannya adalah seekor ayam dan seekor babi kecil. Dalam upacara Libur Kilo dinyanyikan lagu Sanda Lima. Sanda Lima adalah lima jenis kebutuhan pokok manusia. Lima kebutuhan itu adalah Mbaru tara kaeng (rumah tempat tinggal), Natas tara labar (halaman tempat bermain), Wae tara teku (air minum), Uma bate duat (kebun sebagai sumber makanan dan hasil lainnya). Compang (tempat pemujaan).
  • Wae Owak.
  • Wae Owak yaitu upacara persembahan masing-masing keluarga dimana setiap keluarga meletakkan sesajiannya di tempat khusus, sesuai kebiasaan tiap keluarga (kilo); ada yang dalam rumah, ada yang di luar rumah pada batu compang khusus atau pada pohon tertentu.
  • Tudak penti (upacara puncak).
  • Seluruh warga kampung berkumpul dalam rumah gendang[7] dan menyampaikan beberapa ujud berikut:
    1. Kiranya makanan yang dimakan setiap hari tidak mengganggu kesehatan.
    2. Dijauhkan dari gangguan pada saat pergi dan pulang kerja.
    3. Semoga warga kampung tetap berkembang/meningkat jumlahnya.
    4. Mohon kecukupan makanan.
    5. Semoga warga memperoleh ternak.
    6. Semoga warga kampung seluruhnya tetap sehat walafiat dan sejahtera

Melalui upacara penti, manusia Manggarai sudah menyadari dirinya sebagai makhluk yang tidak sempurna. Karena itu, ia mempersembahkan segala kekurangan dalam dirinya melalui suatu upacara yang menurut kepercayaannya bisa menjauhkannya dari bencana. Penti adalah pernyataan syukur karena Dia memberikan manusia kelemahan.

Di dalam kelemahannya sebagai manusia, Allah tidak meninggalkan manusia berjalan sendirian. Allah memberikan diriNya melalui air, dan memberikan perlindungan atas seluruh warga kampung, menjauhkan manusia dari gangguan wabah penyakit, melindungi manusia dari gangguan manusia dan gangguan setan. Dalam kesadaran seperti inilah warga bersatu untuk bersama-sama menyampaikan syukur atas semua kebaikan Tuhan yang telah diperolehnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun