Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... Lainnya - Pencari Makna

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bukan Negeri Para Tikus (1)

2 Agustus 2019   20:30 Diperbarui: 2 Agustus 2019   20:35 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah ruang persidangan dewan yang berukuran besar. Ruangan yang dianggap terhormat oleh para tikus di negeri antah-berantah. Ruangan ini dilengkapi alat tulis dan perangkat komputer yang cukup lengkap. Di barisan paling depan nampak kursi pimpinan yang tinggi dan cukup empuk. Perangkat ketuk palu yang besar tergeletak di atas meja pimpinan seolah-olah selalu menunggu untuk melayani sang tuan besar dalam mengambil keputusan.

Dalam ruangan inilah para dewan tikus ramai mendikusikan persoalan penting melawan kelompok tikus lain yang mengganggu stabilitas dan kemapanan dewan terhormat. Pimpinan sidang mulai angkat bicara. "Saudara-saudari, kita adalah wakil rakyat. Utusan rakyat yang punya hak penuh untuk menentukan kebijakan di negeri ini. Berapa banyak pasal yang kita telah buat dan sudah banyak nomor undang-undang yang telah kita cetuskan selama ini. 

Namun bagi saya, pekerjaan kita seolah-olah tidak dihargai oleh kelompok lain di negeri pertikusan ini. Padahal kita ini adalah sama-sama memiliki posisi yang sangat strategis untuk mengatur negeri ini. Selain tidak menghargai kedudukan kita sebagai wakil para tikus di negeri, saya menilai adanya arogansi kekuasaan para kelompok masyarakat tikus lain. Untuk itu, saya mengundang saudara dan saudari untuk menyikapi keadaan ini".

Semua tertegun mendengar ucapan pimpinan rapat. Dari sebelah kiri ruangan sidang, seekor tikus berbadan besar dan berkepala botak angkat tangan dan mulai merangkaikan kalimat-kalimatnya: "Yang mulia pimpinan! Saya sangat setuju dengan pimpinan. 

Sedikit saya mau gambarkan, untuk mengingatkan kembali ingatan kita, bahwa keberadaan nasib Mamarni Setandan Hantu sekarang adalah ancaman bagi keberadaan kita semua sebagai lembaga terhormat di negeri ini. Dengan ditahan dan diperiksanya Mamarni Setandan Hantu oleh Lembaga Eksekusi Mafia (LEM) segala rahasia mafia yang telah kita buat maupun yang akan kita buat mulai ditelanjangkan satu demi satu di hadapan para tikus di negeri ini. 

LEM mulai merekat kita satu demi satu. Bersediakah kita untuk ditelanjangi? Saya pikir tidak seorangpun diantara kita ini ingin dibugili. Kalau kita bugil maka kita terjerat pasal pornografi. Suatu saat nanti bukan tidak mungkin kita semua akan masuk penjara. Namun sayangnya, penjara seluruh negeri sudah tidak bisa menampung para narapidana. Oleh karena itu, perlu dibentuk tim inteligen dan bila diperlukan kita manfaatkan jurus-jurus ampuh yang merupakan peluru andalan terakhir kita supaya LEM tahu siapa kita sesungguhnya".

Tidak ketinggalan tikus kurus kerempeng berbadan tinggi, bertopi kopiah, duduk di samping pimpinan bersuara: "Saya pikir, kita perlu menggunakan jurus ampuh untuk membungkan lawan-lawan kita. Kita memiliki hak anti kemapanan. Karena itu, saya sangat setuju dibentuknya tim anti kemapanan dalam lembaga kehormatan ini".

Mendengar suara sebagian anggota dewan kehormatan ini, tak lama kemudian, ketua sidang dengan tidak sabaran mengambil palu dan dengan suara lantang seperti kebanyakan makan cabe rawit berteriak. "Dengan ini saya putuskan perlu dibuat tim khusus dan menggunakan hak anti kemapanan!".

Suara ribut dan pemintaan interupsipun memenuhi ruangan sidang. Beberapa partai yang hampir ompong mulai unjuk gigi. Ada sebagian lagi --mungkin dari partai yang beraksi di tempat pembuangan sampah akhir -- menjalankan aksi walk out.

Ternyata rapat para dewan terhomat negeri tikus di dengar juga oleh para pencinta jurnalistik negeri antah-berantah. Sehingga tidak mengherankan, di luar ruangan para wartawan tikus menunggu dengan setia untuk mendapatkan secuil informasi. Ketika tikus berkepala botak keluar dari pintu utama ruangan sidang, wartawan mulai mengerumuninya dan mengajukan beberapa pertanyaan kritis. Sang tikus botak mulai berceloteh ringan. "Segala urusan mengenai negara ini akan dijelaskan terperinci nanti. Intinya adalah dewan terhormat sudah sepakat menggunakan hak anti kemapanan".

Berita tentang keputusan dewan terhormat dalam menggunakan hak anti kemapananpun didengar oleh seluruh rakyat di negeri antah-berantah. Suara protes terdengar di seluruh penjuru negeri.

Seekor tikus yang sempat menonton televisi pada sore itu melempar sebuah kursi di rumahnya. Untung saja kursi yang dilemparnya tidak mengenai kepala isteri dan anaknya yang pada saat itu menonton bersamanya sambil minum kopi sore. "Aduh, mama!!! Dewan terhormat tetapi tidak terhormat. 

Biarkan kasus Mamarni Setandan Hantu berjalan sesuai prosedur persidangan. Kalau memang ada nama para anggota dewan terhormat sempat disebutkan di dalam persidangan, itu kan fakta persidangan. Saya pikir dewan kehormatan yang tidak terhormat itu tidak perlu menggunakan hak anti kemampanan kalau memang selama ini tidak pernah melakukan mafia. 

Atau, jangan-jangan kesimpulan saya tentang dewan terhormat selama ini ada benarnya. Mereka semua adalah pakar mafia. Mereka sepertinya kebakaran jenggot", gerutu sang tikus dengan suara emosi dan seolah-olah pernah belajar hukum.

Sang isteri tidak mau kalah dengan suaminya. Ia juga mulai beringas dan menunjukan pisau dapur ke arah televisi."Apa? Dewan terhormat katanya? Dewan terhomat sekarang banyak yang goblok. Mereka mencetuskan program dan ternyata di balik program yang mereka buat, mereka ternyata ingin mendapat sesuatu dari program itu. Mereka mau makan enak tetapi memanipulasi kegiatan untuk mendapat keuntungan diri. 

Saya tidak tahu perasaan isteri dan anak-anaknya ketika makan dari makanan hasil mafia. Memang saya akui bahwa kebanyakan kita hampir seperti mereka. Kita sering kali mencuri di ladang atau sawah manusia. Haaaa.... haaaa (tertawa). Aku jadinya malu sendiri... mengomentari para dewan terhormat tetapi aku sendiri hampir sama seperti para dewan terhomat".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun