Mohon tunggu...
Evita Yolanda
Evita Yolanda Mohon Tunggu... Dokter - Dokter

Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Memandang Terorisme dari Kacamata Psikologi

14 Mei 2018   15:51 Diperbarui: 18 Mei 2018   09:21 3974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: fairobserver.com

Aksi teror bom berturut-turut yang terjadi ini merupakan penanda tugas besar bagi pemerintah dan aparat keamanan negeri ini yang belum terselesaikan. Pemberantasan tindak terorisme di Indonesia semakin mengarah dari "lampu kuning" ke "lampu merah". 

Terorisme adalah topik yang dapat dipandang dari banyak perspektif, seperti hukum, politik, sosial,  agama, dan sebagainya. Namun kali ini saya akan mencoba memberikan pandangan dari bingkai psikologi.

Seperti yang kita ketahui, pelaku terorisme menggunakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuannya.  Dari penelitian Pennsylvania State University's International Center for the Study of Terrorism yang dilakukan oleh psikolog John Horgan, PhD pada 60 orang mantan pelaku terorisme, dinyatakan bahwa orang-orang yang bertendensi untuk mengikuti rekrutmen kelompok tersebut memiliki karakteristik berikut ini:

  • Merasa marah, teralienasi dan kehilangan haknya
  • Meyakini bahwa keterlibatan mereka dalam politik saat ini tidak memberikan mereka kemampuan untuk membawa perubahan
  • Mengidentifikasi korban mereka sebagai kelompok yang berada di pihak yang melakukan ketidakadilan sosial
  • Merasa butuh untuk melakukan tindakan nyata
  • Mempercayai bahwa melakukan kekerasan melawan negara tidaklah amoral
  • Memiliki teman atau keluarga yang bersimpati terhadap alasan mereka
  • Mempercayai bahwa bergabung dalam gerakan terorisme menawarkan penghargaan sosial dan psikologis seperti rasa petualangan, persaudaraan, dan peningkatan identitas diri.

Menyasar generasi usia produktif terutama generasi muda.

Dikutip dari Media Indonesia, data sasaran program deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Februari 2017 menyatakan bahwa lebih dari 52% narapidana teroris berusia 17-34 tahun. Perlu diperhatikan bahwa sasaran rekrutmen anggota menargetkan kalangan usia produktif terutama generasi muda.

Hal ini berkaitan dengan proses pencarian jati diri dan juga kemudahan akses informasi daring membuat kelompok ini menjadi rentan terhadap konten radikalisme. Arus konten radikalisme yang masif dan kemampuan penjaringan yang lemah membuat mereka mudah terprovokasi oleh propaganda tersebut.

Ansietas sosial kelompok adolesens.

Kelompok adolesens sering mengalami kesulitan dalam membuat keputusan, perilaku impulsif, dan juga ansietas atau kecemasan sosial. Penelitian yang dilakukan Yurgelun-Todd menyatakan bahwa banyak perilaku kelompok adolesens didasari usaha untuk menghilangkan rasa ketertinggalan dan karena mereka ingin menjadi bagian dari sesuatu.  Dimana terdapat hubungan antara kecemasan sosial ini dan perkembangan otak yang turut melibatkan "amigdala" yang merupakan pusat utama regulasi emosi.

Kondisi psikologi yang labil ini menyebabkan "celah kekosongan" pada diri seseorang dan menjadikan dirinya mudah "diisi" dengan apa saja. Dilihat dari data usia para pelaku teroris seperti yang telah disebutkan, sebagian besar sedang berada pada fase transisi menuju maturitas dan kedewasaan. Dimana apa yang diserap pada masa ini akan mempengaruhi karakter dan apa yang diyakininya saat mereka mencapai "year of true maturity".

Internalisasi motivasi.

Motivasi yang ditumbuhkan dalam diri pelaku bisa bersifat patologis baik secara psikologis atau sosial. Namun terdapat juga pendapat menyebutkan bahwa kelompok teroris juga bisa merupakan orang-orang yang normal, jauh dari karakter patologis atau abnormal. Sebaliknya, mereka adalah orang-orang normal yang sepenuhnya sadar atas apa yang mereka lakukan. Akan tetapi, tujuan tertentu disertai paham ideologi  yang telah mengakar menjadi legitimasi atas tindakan yang dilakukan.

Sentimentalitas dan indoktrinasi.

Sentimen kebencian juga bisa menjadi bahan bakar dari eskalasi gerakan terorisme. Kekecewaan pada berbagai sistem kehidupan sosial dan bernegara terutama sosiopolitik, hukum, ekonomi, dan sebagainya dapat menjadi induk yang melahirkan usaha untuk melakukan teror terhadap pihak yang dianggap bertanggungjawab dan bermanifes dalam gerakan individu maupun kelompok.

Dominasi psikologis dari kelompok yang memiliki superioritas dalam hal otoritas dan kemampuan intelektual juga dilakukan kepada orang-orang yang lemah secara psikologis dan ideologis. Alterasi ideologi ini dilakukan secara psikologis kepada orang-orang yang "di atas" kepada "bawahannya". 

Pelumpuhan daya pikir ini menyebabkan seseorang rela menjadikan dirinya pelaku bom bunuh diri, yang jelas harganya adalah nyawa dan sangat bertentangan dengan kemanusiaan baik bagi dirinya dan korban dari tindakannya.

Paham kolektivistik, yaitu paham yang membuat seseorang menganggap dirinya adalah bagian dari "sesuatu yang besar" juga membuat seseorang cenderung lebih "rela berkorban" demi apa yang dijunjungnya. Demikian pula kondisi pelaku yang telah menganggap dirinya telah berjasa besar dengan mengorbankan dirinya untuk suatu tindakan bom bunuh diri.

Damai Indonesiaku.

Konstruksi sosial terorisme di media terkadang membuat perselisihan antar satu kelompok dengan kelompok lainnya. Namun hal yang selalu perlu diingat adalah bahwa tidak ada satu agama, paham, atau ajaran apapun yang membenarkan aksi terorisme. 

Terorisme tidak dapat dibenarkan baik dari sisi agama, hukum, dan sosial. Jangan biarkan aksi terorisme memecah kesatuan umat beragama dan kesatuan negara ini. Semoga bermanfaat.

Salam kompasiana.

**

Tautan referensi: American Psychological Association (1), American Psychological Association (2), Media Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun