Mohon tunggu...
E.W.L
E.W.L Mohon Tunggu... Praktisi Dunia Konstruksi

Praktisi Teknik Sipil (Konstruksi) memiliki minat pada sosiologi, politik, kesehatan masyarakat di Indonesia pada khususnya dan global.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penyusunan peraturan / SOP internal e-commerce (contoh brand Sh*) apakah legal jika bertentangan dengan KUHP? (Sebuah Opini)

12 Mei 2025   13:00 Diperbarui: 12 Mei 2025   11:41 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pesatnya perkembangan teknologi merubah banyak aspek dalam kehidupan masyarakat. Salah satunya ditandai dengan perubahan pola transaksi offline menjadi online. Kemajuan ini tentu memberi banyak manfaat bagi peradaban manusia di seluruh benua. Indonesia dengan pasar (sesuai estimasi beberapa sumber) mencapai 255 juta jiwa (Warga Negara) tidak hanya menjadi insentif bagi anak bangsa untuk berkreasi menelurkan perusahaan teknologi yang merupakan kebanggaan Warga Negara Indonesia yaitu di antaranya "Toko**" yang dari nol berhasil menjadi perusahan dengan status Unicorn.

Potensi pasar Indonesia juga membuat perusahaan e-commerce (marketplace) asing untuk menanankan modal di Indonesia melalui jalur PMA. Dalam tulisan penulis kali ini, penulis mempertanyakan peraturan internal marketplace asing tersebut (Sho**) yang sesuai pengalam penulis tidak sejalan dengan beberapa pasal dalam KUHP terbaru.

 Marketplace dengan sistem Customer to Customer dengan pengelola bertindak sebagai escrow sekaligus "polisi dan hakin" untuk menciptakan transaksi yang aman dan nyaman antara Buyer to Seller. Operasional perusaan Marketplace tentu mengandalkan reputasi perusahaan tersebut. Namun walaupun ada Undang - Undang yang secara spesifik mengatur tentang transaksi barang maupun jasa di Indonesia yang berlaku umum, sepengatahuan penulis undang - undang yang secara spesifik mengatur operasional marketplace. 

Maka perusahaan e-commerce menerapkan syarat dan kebijakan masing - masing yang tidak terstandarisasi. Dalam tulisan ini, saya hendak berbagi pengalaman bertransaksi di marketplace yang didirikan oleh anak bangsa (Tokopedia, Bukalapak, dsb) dengan Marketplace asing yang masuk ke Indonesia dengan PMA (Penanaman Modal Asing). 

Secara singkat dapat penulis ceritakan pengalaman penulis membeli produk di suatu importir mainan yang difasilitasi oleh marketplace sho** untuk berjualan secara daring (online).  Penulis tertarik dengan produk yang ditawarkan oleh importir mainan tersebut karena sangat canggih dan luar biasa untuk ukuran harga yang ditawarkan.

Maka dari itu dengan antusias penulis melakukan transaksi dengan fasilitas yang disediakan oleh Sho** (marketplace asing) yang merupakan escrow yang penulis selalu ekspektasikan sebagai jaring pengaman dalam melakukan transaksi online. 

Kekecewaan penulis mulai rasakan ketika mencoba produk tersbut yang tidak berfungsi jauh dari deskripsi, berupa tulisan, gambar maupun importir di kanal sho***.

Namun penulis masih memiliki harapan karena pengalaman belanja di marketplace lokal, penulis dapat mengembalikan produk yang tidak sesuai deskripsi ke penjual. (Dengan logis dan adil).

Namun harapan penulis hancur dengan kebijakan yang diputuskan oleh marketplace sho**. Semua pertanyaan maupun bukti dan argumentasi penulis hanya dijawab dengan AI dan template "sesuai kebijakan sho**" dan pada intinya penulis salah.

Penulis telah menghabiskan energi dan waktu selama berminggu minggu hanya untuk mendapat jawaban resmi berbentuk tulisan di mana letak kesalahan penulis.  Setelah semua waktu dan energi penulis keluarkan dan hanya dijawab dengan normatif "sesuai keijakan",  penulis dihubungi melalui media komunikasi telepon selurer.

Penulis kemudian menyatakan keberatan untuk percakapan via lisan, tertutup dan bahkan tidak ada tatap muka baik di telepon maupun melalui pernyataan berbentuk tulisan via chat. Alasan penulis sederhana dan logis, yaitu di mana dapat kita maklumi bahwa komunikasi via telepon bisa memiliki multi tafsir dan merugikan suatu pihak.

Setelah penolakan tersebut, sho** tiba - tiba menawarkan kompensasi sebesar Rp. 250rb (sebagai perbandingan nilai produk yang penulis berikan 1,8 juta). Suatu angka ajaib yang penulis rasakan sangat - sangat merendahkan penulis sebagai pelanggan.

Maka dari itu penulis mencoba mengutip beberapa KUHP yang penulis rasa masih berlaku di Indonesia (terbaru) 

Pasal 383 KUHP :

"Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli:

1. karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli;

2. mengenai jenis, keadaan, atau jumlah barang yang diserahkan, dengan menggunakan tipu muslihat."

Dan tentu banyak juga tercantuk di Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Maka dari itu penulis mencoba mengulik pendapat dan opini pembaca mengenai opini penulis tentang apakah dibenarkan untuk suatu perusahaan menerapkan peraturan terhadap konsumen yang bersifat mengikat dan pasti namun bertentangan dengan KUHP?

Terimakasih.

Note : 

Penulis telah mencoba mengklarifikasi dan telah memberi kesempatan bagi perusahaan terkait untuk memberi klarifikasi resmi sebelum penulis meminta ijin dari perusahaan tersebut untuk membagikan opini maupun hak tanya di ruang publik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun