Mohon tunggu...
Evert Nunuhitu
Evert Nunuhitu Mohon Tunggu... Akuntan - Pengamat Sosial dan Keuangan Publik
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Without God I'm Nothing...

Selanjutnya

Tutup

Money

Tantangan Swasembada Garam bagi Gubernur NTT Viktor B Laiskodat

10 September 2018   20:22 Diperbarui: 10 September 2018   20:57 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur NTT - Viktor B Laiskodat panen garam di Desa Bipolo

Rencana Swasembada Garam pemerintah pusat, yang memilih  Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)  menjadi pilar utama swasembada Garam nasional, ternyata belum memperlihat harapan yang cerah.

Hal tersebut dapat terlihat dengan jelas pada respons pemda NTT (pemda Kabupaten Kupang)  terkait dengan masuknya investor PT Puncak Keemasan Garam Dunia (PKGD) yang membawa 1.8 Triliun rupiah untuk mempercepat pelaksanaan pengembangan pergaraman nasional yang telah dicanangkan Pemerintahan Jokowi --JK, yang masih jalan di tempat.

PT Puncak Keemasan Garam Dunia (PKGD) yang telah mengakuisisi seluruh saham PT. Panggung Guna Ganda Semesta (PGGS) sebagai pemegang HGU Nomor 6 Tahun 1992. atas lahan seluas kurang lebih 3.720 hektar yang terletak di Desa Nunkurus, Kelurahan Babau, Kelurahan Merdeka dan Desa Oebelo di Kecamatan Kupang Timur dan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, masih harus menunggu penyelesaian sengketa lahan HGU antara Pemda Kabupaten Kupang, BPN, Masyarakat dan PT.PGGS, sebelum dapat menggunakan lahan tersebut.

Sungguh Ironis, garam yang selalu digunakan untuk kebutuhan rutin rumah tangga sebagai garam dapur, dan  juga digunakan oleh berbagai macam industri, seperti industri kimia, Aneka pangan, Farmasi, perminyakan, penyamakan kulit, pakan ternak, water treatment dan lainnya, belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah.

Indonesia sejak berpuluh tahun hingga sampai saat ini  masih mengimpor garam dari berbagai negara.  Garam-garam dari Australia, India, Tiongkok, Selandia Baru, Jerman, Denmark, Singapura dan lainnya selalu memenuhi kebutuhan garam nasional sejak lama, terutama kebutuhan garam industri yang kadar NaCl nya minimal 97 %.

Persoalan kebutuhan garam nasional  khususnya garam industri mulai menjadi pembicaraan serius dikalangan industri, setelah  terjadinya krisis moneter 1998, dimana banyak perusahaan industri Chlor Alkali Plant (CAP) yang ingin memperbesar kapasitas produksi terkendala ketersediaan garam.   

Persoalan mekanisme impor garam, importir, dan distribusi belum diurus secara  baik oleh pemerintah, garam hanya dilihat sebelah mata, kalangan industri sering berteriak tentang keterbatasan stok garam industri, akan tetapi selalu direspon dengan persoalan internal pemerintah yang mengatur mekanisme impor, importir, dan kuota impor, esensinya pemerintah belum dapat menetapkan kuota impor yang tepat untuk kebutuhan garam industri nasional.

Perbedaan data kebutuhan garam nasional yang dimiliki oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan kebutuhan garam di kalangan industri, acapkali menjadi kendala untuk menetapkan besarnya kuota impor garam, padahal secara jelas Urusan garam konsumsi atau garam rakyat sudah diatur melalui UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. UU No. 7 Tahun 2016 ini domainnya Kementerian KKP. Sementara untuk garam industri yang jadi dasar pengaturan dan kebijakannya adalah UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, dan merupakan domainnya Kementerian Perindustrian.

Kekisruhan pro-kontra kebutuhan impor garam ini baru berhenti setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan  Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri pada 15 Maret 2018, yang mengalihkan kewenangan mengeluarkan rekomendasi impor yang semula ada pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kepada  Kementerian Perindustrian, yang memang sudah seharusnya menjadi tanggung jawab Kementerian Perindustrian untuk menjaga kelangsungan hidup industri sesuai perintah UU No. 3 Tahun 2014.

Impor garam Indonesia terus menunjukkan kenaikan setiap tahun, data Biro Pusat Statistik menunjukkan impor garam tahun  2016 sebesar 2.14 juta ton,   tahun 2017 -- 2,53 juta ton, dan tahun 2018 mencapai 3.7 ton, jika saja NTT di tahun 2019 dapat memproduksi garam 1,5 juta ton atau ekuivalen   40 % impor garam dari Australia, maka ada tambahan US$ 47.6 Juta  yang beredar di NTT, yang akan menciptakan multiplayer efek positip diberbagai sektor ekonomi dan sosial.

Viktor Bungtilu Laiskodat - Josef Nae Soi sebagai pemimpin NTT yang baru, sangat diharapkan memperhatikan peluang dan tantangan program pemerintah pusat yang ingin menjadikan NTT sebagai pilar utama swasembada garam nasional.  Janji kampanye Victory-Joss  untuk mengembangkan industri garam di NTT sangat layak untuk diagendakan sebagai salah satu program prioritas  untuk meningkatkan APBD NTT dalam 100 hari kerja pertama kepemimpinan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun