Mohon tunggu...
Evelyn Stefiliana Liang
Evelyn Stefiliana Liang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional di UPN Veteran Yogyakarta

Greetings Everyone! You can call me Evelyn, I am an active student at UPN "Veteran" Yogyakarta, Faculty of Social and Political, I major in International Relations. I like to learn new languages, research and volunteer. Furthermore I have a tendency to participate and contribute in various activities that can hone my self growth and skills. I’ve taken on various leadership lessons and roles, including mentoring. Moreover to strengthen my skills on Diplomacy, Negotiations, Public Speaking, Communication, Teamwork and Problem Solving I joined an Organization on my campus and often participate in Model United Nations. Currently I have an interests to learn about Business, Content Marketing and SDGs.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Analisis Upaya Peacemaking Indonesia dalam Konflik Mindanao di Filipina dari Masa Presiden Soeharto hingga Presiden Joko Widodo

3 Desember 2023   13:31 Diperbarui: 4 Desember 2023   14:30 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 https://historia.id//militer/articles/mimpi-damai-di-filipina-selatan-PyB56/page/1

Indonesia secara garis besar memiliki prinsip “bebas aktif” sebagai dasar utama dalam menentukan kebijakan luar negerinya. Sebagaimana yang tertulis dalam UU No. 37 Tahun 1999 Pasal 3 menjelaskan bahwa secara rinci Indonesia bukanlah negara yang berafiliasi netral akan tetapi Indonesia memiliki kebebasan untuk menentukan sikap terhadap masalah global yang melibatkan kontribusi aktif dalam menyelesaikan konflik. Dalam kebijakan ini Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki pengaruh yang besar dalam menyelesaikan konflik dan mencapai perdamaian. Mengingat dalam sejarah Indonesia telah berkontribusi terhadap banyak sekali resolusi konflik. Seperti konflik Kongo melalui kontingen Garuda dan Konflik Yugoslavia melalui bantuan kemanusiaan. Tak hanya kasus konflik internasional akan tetapi Indonesia juga berpartisipasi dalam konflik regional di Asia Tenggara yaitu salah satunya adalah peran Indonesia sebagai Peacemaker dalam konflik Mindanao di Filipina.

Konflik yang terjadi di daerah Mindanao, selatan Filipina ini terjadi pada tanggal 23 Mei 2017, di mana seribu teroris yang terinspirasi ISIS dengan cepat menguasai Kota Marawi di Mindanao, kepulauan paling selatan di Filipina. Serangan teroris tersebut terjadi sebagai tanggapan atas upaya penangkapan Isnilon Hapilon, yaitu pemimpin kelompok teroris Islam yang bernama Abu Sayyaf oleh Armed Forces of the Philippines (AFP), di mana kelompok teroris ini terbentuk di antara masyarakat Moro. Konflik kemudian mencapai puncaknya pada tahun 2018 di Mindanao, Filipina dengan pertempuran antara pasukan pemerintah dan teroris yang berafiliasi dengan ISIS di Marawi. 

Dalam kasus ini Indonesia memiliki posisi sebagai Peacemaker atau sebagai mediator pada kelompok yang berkonflik. Dan bersikap sepenuhnya netral tanpa memihak ke mana pun karena terdapatnya prinsip non-intervensi ASEAN, yang merupakan kebijakan di mana negara-negara anggota ASEAN tidak boleh terlibat langsung atau campur tangan langsung pada konflik internal yang terjadi di salah satu negara anggota ASEAN, tentu saja hal ini dipatuhi oleh Indonesia. 

Dalam negara Filipina, masyarakat Moro merupakan minoritas Muslim dengan 13 kelompok etnolinguistik. Kelompok utama adalah suku Tausug, kemudian terdapat suku Maguindanao, dan Maranao, yang sebagian besar tinggal di Pulau Mindanao di bagian selatan Filipina. Dari 80 juta penduduk Filipina, etnis Moro memiliki persentase 10-14% dari semua suku yang hadir. Etnis Moro juga merupakan 20 persen dari penduduk yang menempati wilayah Mindanao. Mindanao adalah salah satu pulau terbesar di negara ini. 

Namun ironisnya, wilayah yang kaya sumber daya serta mayoritas masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan ini, merupakan rumah bagi penduduk asli Moro dan Lumad yang dinilai sebagai etnis termiskin dan penuh dengan pendiri kelompok separatis terbanyak di Filipina. Jika ditelusuri melalui sejarah Mindanao tidak terlepas dari sejarah negara Filipina di mana awal mula terbentuknya etnis Moro di Mindanao berasal dari penjajahan Spanyol di Filipina.

Spanyol mengembangkan strategi untuk mempertahankan kendali atas wilayah Filipina melalui dua motif kolonial yaitu yang pertama adalah penyebaran ekonomi, kemudian yang kedua yaitu agama. Dalam hal ini, Spanyol menggunakan strategi yang disebut dengan strategi "adu domba"-nya. Maksudnya di sini adalah Spanyol mencoba mengadu domba Katolik Filipina melawan Muslim. Hal ini menyebabkan konflik antara komunitas Kristen dan Muslim yang disebut "Perang Moro".

Walaupun konflik ini sudah mencapai puncaknya pada tahun 2018 dengan memakan korban sebanyak 150.000 masyarakat Filipina yang mencakup polisi, aparat pemerintah, warga sipil, dan pemberontak, namun meski begitu konflik yang terjadi di antara kelompok Moro masih sering terjadi hingga Agustus tahun 2022, di mana sempat terjadi bentrokan antara aparat pemerintah dengan kelompok bersenjata Moro, hal tersebut terjadi dikarenakan kelompok Moro tersebut diusir dari tempat tinggalnya di kota Cotabato, Filipina. Konflik ini sempat menjadi perhatian negara-negara di ASEAN salah satunya adalah Indonesia. 

Indonesia memiliki keterlibatan dalam kasus ini, di mana terdapatnya urgensi yang menjadi perhatian dikarenakan permasalahan Mindanao ini memiliki potensi untuk dapat bereskalasi menjadi suatu ancaman regional di Asia Tenggara jika tidak ditangani. Hal ini menciptakan kebutuhan mendesak bagi Indonesia untuk berpartisipasi dalam menyelesaikan konflik Moro-Muslim di Filipina. Indonesia muncul sebagai mediator yang diakui oleh pemerintah Filipina karena kondisi sosial budaya dan politiknya yang serupa. Dengan adanya hal ini membuat pemerintah Filipina berharap agar Indonesia bisa memberikan solusi terhadap permasalahan yang terjadi di Mindanao, Filipina.  

Jika ditelusuri melalui sejarah Indonesia, konflik Mindanao bukanlah konflik yang asing bagi Indonesia dikarenakan sebelumnya, Presiden Soekarno sudah pernah menjalin hubungan dengan Filipina dan merupakan presiden pertama yang memulai hubungan diplomasi tersebut, walaupun pada saat itu Filipina masih berada di bawah Amerika Serikat. Soekarno pernah mengadakan pertemuan dengan Corazon Aquino, Presiden Filipina pada saat itu, untuk membahas berbagai isu termasuk komunisme, isu Moro, dan pembangunan ekonomi berkelanjutan di wilayah tersebut. Tetapi pada saat itu Indonesia belum terlibat dalam upaya penyelesaian konflik Moro ini.

Selanjutnya, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia cenderung memiliki posisi yang memihak kepada kelompok Moro. Soeharto sempat mengajukan empat saran untuk mengatasi masalah Moro, antara lain jaminan bagi komunitas Muslim di Filipina selatan untuk menjalankan agamanya dan mengembangkan budayanya tanpa batasan yang melanggar hak asasi manusia, penghormatan terhadap tradisi dan budaya Islam di seluruh Filipina, kembalinya tanah leluhur bagi masyarakat Moro, dan partisipasi komunitas Muslim dalam pembangunan nasional di Filipina. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun