Uji Vaksin TBC Bill Gates di Indonesia
Sebagai mahasiswa yang belajar ilmu ekonomi dan cukup sering scroll berita internasional, saya tertarik mengikuti kabar tentang vaksin TBC (tuberkulosis) yang digagas oleh Bill Gates lewat Bill & Melinda Gates Foundation. Mungkin sebagian orang hanya melihat ini sebagai kabar kesehatan biasa, tapi kalau dilihat dari perspektif ekonomi, isu ini jauh lebih besar dari sekadar "suntikan obat".
Saya cukup sering membaca perdebatan publik soal vaksin, terutama sejak pandemi COVID-19. Tapi ketika mendengar kabar bahwa Indonesia ikut serta dalam uji klinis vaksin TBC baru---yang didukung oleh Bill & Melinda Gates Foundation saya merasa ini bukan hanya isu kesehatan, tapi juga punya nilai strategis dari sisi ekonomi, sosial, bahkan kebijakan publik.
Kenapa? Karena TBC bukan penyakit ringan. Indonesia saat ini jadi negara dengan kasus TBC terbanyak kedua di dunia, setelah India. Bayangkan, lebih dari 1 juta orang setiap tahun kena TBC, dan ratusan ribu di antaranya meninggal. Data Kemenkes juga menunjukkan bahwa hingga Maret 2025, notifikasi kasus baru masih jauh dari target. Ini artinya, banyak kasus belum terdeteksi dan belum diobati. Gawat? Jelas. Tapi di situlah pentingnya vaksin.
Saya belajar bahwa kesehatan masyarakat itu erat kaitannya dengan produktivitas kerja. Bayangkan kalau banyak orang yang dulunya sakit TBC, jadi sehat dan bisa kerja produktif artinya mereka bisa menghasilkan lebih banyak, dan ekonomi bisa tumbuh lebih cepat.
Solusi lawan TBC dengan Vaksin = Investasi, Bukan Beban
Pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dengan tokoh filantropis dan pengusaha asal Amerika Serikat (AS), Bill Gates, menjadi pembicaraan di media sosial. Pasalnya, Prabowo mengungkap bahwa Indonesia menjadi salah satu negara penerima uji coba vaksin TB atau tuberkulosis yang didanai Bill Gates lewat Bill and Melinda Gates Foundation. Calon vaksin baru TB ini bernama M72 dan sudah masuk dalam fase uji klinis tahap 3.
Banyak orang salah paham ketika mendengar istilah "uji klinis." Ada yang langsung panik, mikirnya kayak eksperimen acak. Padahal, menurut beberapa pakar, uji klinis itu bagian dari proses yang sangat ilmiah dan ketat. Dimulai dari uji pra-klinis (di laboratorium), lalu masuk ke fase 1, 2, sampai 3, baru kemudian bisa dapat izin edar dari BPOM. Semua ini diatur dalam UU Kesehatan dan peraturan resmi. Jadi, kalau dikawal dengan baik, uji klinis justru melindungi masyarakat, bukan membahayakan.
Saya pribadi percaya vaksin itu penting. Tapi saya juga nggak tutup mata bahwa narasi antivaksin masih banyak berkembang. Kadang bukan karena orang anti sains, tapi karena mereka kurang informasi, atau kehilangan kepercayaan pada pemerintah dan sistem kesehatan. Makanya, pendekatan komunikasi juga harus cerdas dan manusiawi.
WHO sendiri punya prinsip Risk Communication and Community Engagement (RCCE) ini kayak panduan agar pemerintah nggak cuma "nyuruh vaksin," tapi juga ngajak masyarakat ngobrol, diskusi, dan saling memahami. Edukasi publik soal vaksin harus dijalankan sesuai amanat UU Kesehatan, dan menurut saya, yang nyampaikan jangan cuma pemerintah. Perlu kolaborasi tokoh agama, akademisi, tenaga kesehatan, dan media. Kalau dilakukan bareng-bareng, masyarakat nggak cuma lebih paham, tapi juga lebih percaya.
saya justru bangga kalau negara ini bisa terlibat dalam uji klinis global seperti vaksin TBC M72. Selain mempercepat akses terhadap teknologi medis baru, ini juga membuka peluang untuk transfer teknologi, dan lebih penting lagi: memperkuat sistem riset dan regulasi kita sendiri.