Mohon tunggu...
Evaristus Cahya
Evaristus Cahya Mohon Tunggu... Menulis bagian dari hobiku.

Belajar kapan saja, di tempat manapun juga, dan sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keterbatasan Fisik Manusia (Juga) Anugerah Tuhan

16 Juni 2021   07:07 Diperbarui: 16 Juni 2021   07:31 1024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: rencanamu.id

Orang bisa dikenal oleh orang lain dengan menyebut namanya,  menyebut ciri-ciri fisik tubuhnya,  dari agamanya, sukunya, lingkungan tempat tinggal dan lain sebagainya. Yang akan saya bahas di sini adalah mengenal seseorang dengan mengidentifikasi siapa orang itu.

Ketika saya tinggal di Philipina beberapa tahun lamanya, ada pengalaman yang sangat mengesan bagi saya yang boleh ditiru oleh kita orang Indonesia, yaitu budaya mengidentifikasi orang lain. Salah satu contoh dari pengalaman itu adalah jika kita menanyakan seseorang yang belum kita kenal pada orang Philipina, spontan mereka akan menjawab pertama-tama yang disebutkan adalah positifnya seseorang.

Saya melihat dan mendengar sendiri, orang Philipina bertanya kepada sesama orang Philipina. "Si Alvi itu yang mana ya?". Spontan orang Philipina akan menjawab ciri-ciri dengan sangat positif "Oh Si Alvi itu orangnya langsing, kulitnya bersih, tampan". Sebagai orang Indonesia, saya mengernyitkan dahi, saya kenal betul siapa Si Alvi itu, memang ciri-ciri yang disebutkan itu tidak salah, dan ada ciri dia yang lain yaitu bertubuh pendek, botak dan ompong.

Begitu juga ketika ada orang Philipina yang lain bercerita kepada saya, "Suster ada orang yang menanyakan dirimu, ingin kenal denganmu". Saya menjawab boleh, lalu dia menyebutkan ciri-ciri khas saya, yang katanya kulitnya terang, cantik  (meskipun sebenarnya pas-pasan) dan saya mendengarkan dengan malu dan wajah merah merona.

Orang Philipina suka sekali menyebut ciri-ciri orang lain dengan mengambil positifnya terlebih dahulu, apalagi mengenalkan pada orang lain.  Sangat langka saya temui mereka menyebut yang negatifnya terlebih dahulu. Meski dengan musuhnyapun, mereka tetap menyebut ciri fisik secara positif. Nampaknya hal ini sudah membudaya bagi mereka.  Berbeda dengan kita orang Indonesia pada umumnya menyebut ciri orang dengan negatifnya terlebih dahulu. Itu Si Kristina yang cencem (cendhik cempluk) atau pendek gemuk dan pipi tembem, atau ciri khas Si Alvi yang botak, hitam, ompong dan pendek.

Maka tidak heran para pelawak Philipina, pada umumnya tidak buruk muka atau terbatas secara fisik. Yang menjadi ukuran tertawa dan nilai jual lawakan mereka yang berkualitas adalah cara menampilkan sajian yang menarik dan bisa menjadi bahan tertawa atau melucu tanpa harus merendahkan fisik seseorang.  Saya menonton lawakan mereka, dan memang lucu serta menarik juga. 

Berbeda dengan kita di Indonesia, para pelawak yang dianggap lucu dan laku adalah pelawak dengan memiliki keterbatasan fisik (sebagai contoh: pendek, botak, gigi ompong, hidung pesek dan lain sebagainya). Ini dianggap sebagai modal utama untuk melucu, mencari ketenaran dan nilai jual yang tinggi, sehingga membuat orang tertawa terbahak-bahak.

Jujur saja, saya nggak enak juga menonton lawakan Indonesia, meskipun pelawak tersebut mampu menerima keterbatasan fisik mereka dengan hati gembira dan bebas. Keterbatasan fisik ini menjadi bahan objekan untuk melucu dan mencari uang. Mereka  lupa untuk menghormati serta menghargai sesamanya, karena sudah dianggap wajar dan biasa oleh masyarakat. 

Maka tidak mengherankan muncul kasus-kasus perundungan, penghinaan, dan kekerasan satu dengan yang lain atau kasus tawuran di sekolah.  Tawuran antar warga masyarakat hanya dikarenakan soal sepele ejekan-ejekan tentang keterbatasan fisik dan asal usul orang lain yang dianggap hanya bercanda dan akhirnya menimbulkan malapetaka.

Beruntunglah orang yang diciptakan sebagai orang yang pintar, cantik, tampan, dengan tubuh serta rupa yang sempurna. Maka tidak heran jika terjadi orang suka membanding-bandingkan satu dengan yang lain. Dalam keluarga pun ada kebiasaan membanding-bandingkan keadaan fisik adik dan kakak. Bahkan kadang dijadikan senjata untuk melampiaskan kemarahan dalam keluarganya. 

Misalkan, Kamu saudara kandung dengan dia? tapi kok kamu tidak sama dengan mereka, yang cerdas, cantik, dan tampan, lembut, tidak macam kamu yang urakan. Maka tidak sengaja kita menciptakan orang lain menjadi minder, malu tidak percaya diri, bahkan bisa membuat orang menjadi lebih buruk perangainya.

Pada hakikatnya manusia diciptakan Tuhan secitra dengan-Nya. Jadi fisik kita menggambarkan Sang Pencipta itu sendiri. Penampilan fisik seseorang adalah anugerah dari Tuhan. Baik kelebihan dan kekurangannya adalah milik Tuhan. 

Kita sering mendengar dan melihat di media sosial tentang kelebihan orang yang terbatas fisiknya mampu berprestasi dan bermanfaat bagi masyarakat dan dunia. Contohnya Thomas Alpha Edison yang merupakan ilmuwan dunia yang tuna rungu, Albert Einstein adalah seorang ilmuwan fisika teoritis yang menyandang autis dipandang luas sebagai ilmuwan terbesar dalam abad ke-20.

Banyak orang yang terbatas fisiknya, namun tidak minder bahkan percaya diri tinggi. Semua ini adalah peran penting dari orang tua, yang mampu memberikan motivasi yang kuat bagi putra-putrinya yang tidak sempurna itu. 

Dalam keluarga, di sekolah dan masyarakat sebaiknya perlu diedukasi untuk selalu menghargai sesamanya seutuhnya. Oleh sebab itu semua ciptaan, terutama manusia yang diciptakan oleh Tuhan wajib menghormati satu dengan yang lain, menghargai keberadaan manusia itu sendiri.

Penulis             : Sr. M. Christiana, OSF/ SMP Stella Matutina Salatiga
Editor              : Evaristus Astarka

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun