[caption id="attachment_79704" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] 29 Mei 2006 lalu, awal bencana Lumpur Gas Lapindo sidoarjo bermula. Selang beberapa hari setelah itu, sekitar tanggal 5 Juni 2006, semburan lumpur panas meluas hingga menutupi hamparan sawah seluas lebih 12 hektar yang masuk dalam wilayah Desa Renokenongo dan Jatirejo. Akibat dari peristiwa ini dilaporkan pohon dan tumbuhan di sekitar lokasi yang tergenang seperti pohon sengon, pisang, dan bambu serta rumput alang-alang mulai mengering. Besarnya semburan lumpur yang keluar dari perut bumi juga menyebabkan ketinggian lumpur sedikit lebih tinggi dari badan jalan Tol Surabaya-Gempol Kilometer 38. Dari peristiwa ini, sebagian penduduk Dusun Siring Tangunan dan Dusun Renomencil berjumlah 188 KK atau 725 Jiwa terpaksa mengungsi ke Balai Desa Renokenongo dan Pasar Baru Porong. Selanjutnya, Pada tanggal 7 Juni 2006, semburan lumpur panas semakin membesar dan mulai mendekati pinggir bagian Timur di Desa Siring sehingga mengancam pemukiman penduduk di desa tersebut. Kondisi ini terus memprihatinkan karena semakin hari debit lumpur yang keluar dari perut bumi semakin membesar hingga akhirnya pada 7 Juli 2006, lumpur mulai menggenangi areal pemukiman penduduk dusun Renomencil Desa Renokenongo dan Dusun Siring Tangungan, Desa Siring. Akibat dari peristiwa ini 993 KK atau 3815 Jiwa terpaksa mengungsi ke Pasar Baru Porong, atau ke rumah-rumah sanak famili yang tersebar di sejumlah tempat. Hingga November 2008, terdapat 18 desa yang tenggelam dan/ atau terendam dan/ atau tergenang lumpur, yang meliputi: Desa Renokenongo, Jatirejo, Siring, Kedung Bendo, Sentul, Besuki, Glagah Arum, Kedung Cangkring, Mindi, Ketapang, Pajarakan, Permisan, Ketapang, Pamotan, Keboguyang, Gempolsari, Kesambi, dan Kalitengah. Dan, terakhir saya lewati jalan Porong Gempol pada tanggal 8 Desember, sungguh miris, wilayah dampak lapindo itu tak ubahnya seperti lautan lumpur yang memadat di sertai kepulan asap di beberapa titik, bagi saya, itu sungguh merupakan suatu pemandangan yang tak bisa di jelaskan dengan akal sehat. Yang menjadi pertanyaan adalah, siapa yang bertanggung jawab atas nasib para warga korban Lapindo ini ??? Sebagimana di ketahui, bahwa Nasib warga korban lumpur yang masih bertahan di pengungsian Pasar Baru Porong semakin tidak jelas. Pihak Lapindo telah memutuskan jatah makan bagi para pengungsi sejak 1 Mei 2008 lalu. Tetapi, hingga saat ini tidak banyak warga yang melakukan proses perjanjian ikatan jual beli (PIJB) atas tanah dan bangunan mereka. Hingga saat ini, masih bertahan sekitar 600 keluarga di pengungsian Pasar Baru Porong yang tergabung dalam Paguyuban Warga Desa Renokenongo Menolak Uang Kontrak (Pagar Rekontrak). Mereka sebenarnya telah bersedia menjalani skema seperti yang tertera dalam Perpres 14/2007 tentang BPLS, bahwa ganti rugi cash and carry dilakukan secara bertahap, yakni dengan pola 20-80. Artinya, mereka menerima uang muka 20 persen melalui proses PIJB, sedangkan sisanya sebesar 80 persen akan dibayarkan kemudian. Masalahnya, pihak Lapindo melalui PT Minarak Lapindo Jaya berpegang pada Perpres bahwa pembayaran 80 persen dilakukan sebulan sebelum masa kontrak rumah dua tahun habis. Para pengungsi minta pembayaran 80 persen dilakukan terjadwal dalam waktu enam bulan. Sedangkan uang kontrak sebesar Rp 5 juta/keluarga dan uang pindahan Rp 500.000/keluarga diminta dikumpulkan pada koordinator Pagar Rekontrak untuk dibelikan tanah secara kolektif. Tetapi, pihak MLJ tidak bisa memenuhi hal itu, karena dalam PIJB adalah atas nama pribadi, dan warga berhak mendapatkan dana masing-masing melalui rekening bank. Saya sendiri bingung, bagaimana mengakhiri tulisan ini, karna nasib para Korban Lapindo masih mengambang. Evan # Bali
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI