Mohon tunggu...
I. P. Eva Endrawan
I. P. Eva Endrawan Mohon Tunggu... Guru SMP

saya menyukai sepak bola basket dan musik

Selanjutnya

Tutup

Nature

Banjir di Bali : Apakah Tri Hita Karana Telah Ditinggalkan?

22 September 2025   11:20 Diperbarui: 22 September 2025   10:19 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mind Mapping Konsep Tri Hita Karana

Bali, yang dikenal sebagai “Pulau Dewata,” sering digambarkan sebagai surga tropis dengan keindahan alam, budaya yang kaya, dan spiritualitas yang mendalam. Namun, di balik citra memesona itu, Bali juga menghadapi tantangan serius, salah satunya adalah banjir. Banjir bandang dan longsor membuat Bali luluh lantak sejak Rabu (10/09/25). Faktor alam dan manusia menjadi penyebab bencana yang menelan banyak korban.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut, pemicu banjir dan longsor ini berupa intensitas hujan di atas normal, kondisi hidrologis sungai, hingga topografi perbukitan dan pasang laut yang memperlambat aliran air. Sementara, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencatat ada anomali cuaca.

Terlihat dari pergerakan awan hujan Samudera Hindia yang terdorong angin baratan menuju Pulau Dewata. Dalam waktu singkat, curah hujan meningkat tajam dan melebihi ambang normal harian.

Fenomena Madden Julian Oscillation (MJO) dalam fase 3 (Indian Ocean) juga berkontribusi terhadap proses pembentukan awan hujan di wilayah Indonesia Bagian barat. Bahkan, BMKG memprediksi kondisi ini secara spasial aktif melewati sebagian wilayah Indonesia, termasuk Bali, hingga tanggal 12-17 September.

Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali-Penida, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum menyebut, curah hujan merata di Bali dengan intensitas tinggi sebesar 245,5 mm/hari dengan durasi yang lama pada Senin (8/9/25) hingga Selasa (9/9/25), menyebabkan meningkatnya aliran debit banjir sungai 85,85 m³/detik. Dengan intensitas hujan tinggi, beberapa tukad (sungai) di Bali tak bisa menampung air.

Akademisi, Organisasi Lingkungan, hingga Menteri Lingkungan Hidup (LH) melihat banjir di Bali bukan semata karena intensitas hujan tinggi. Ada faktor eksternal yang manusia sebabkan sendiri. Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup menyebut, salah satunya karena produksi sampah parah di Bali. Berdasarkan data Pemerintah Bali, timbulan sampah pada 2024 mencapai 1.254.235,02 ton. Dari jumlah itu, timbulan terbanyak di Kota Denpasar 366.806,75 ton. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, 1.229.234,65 ton. “Ini mungkin sampah tinggalan lama itu lho,” katanya.Menurut dia, sampah-sampah menyumbat sungai hingga ketika hujan dengan intensitas tinggi mengguyur, terjadilah banjir.

Frekuensi dan intensitas banjir yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir telah memicu pertanyaan mendalam: apakah keseimbangan spiritual, sosial, dan ekologis yang selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali mulai terganggu?

Untuk memahami fenomena ini, kita dapat merujuk pada filosofi hidup masyarakat Bali, yaitu Tri Hita Karana. Filosofi ini mengajarkan tiga hubungan harmonis yang harus dijaga: hubungan dengan Tuhan (Parhyangan), hubungan antarmanusia (Pawongan), dan hubungan dengan alam (Palemahan). Banjir bukan hanya sekadar bencana alam, melainkan sebuah cerminan nyata dari ketidakseimbangan pada salah satu atau bahkan ketiga aspek ini.

1. Parhyangan: Hubungan dengan Tuhan dan Makna Spiritual Banjir

Dalam ajaran Hindu Dharma di Bali, Parhyangan adalah hubungan harmonis antara manusia dengan Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan). Ketaatan pada ajaran agama, pelaksanaan upacara, dan penghormatan terhadap alam semesta adalah bagian dari hubungan ini. Dari perspektif spiritual, banjir dapat dilihat sebagai sebuah teguran atau peringatan dari alam. Banjir mengingatkan manusia bahwa mereka bukanlah penguasa mutlak, melainkan bagian dari siklus kosmik yang lebih besar.

Ketika manusia terlalu fokus pada pembangunan dan konsumsi material tanpa memikirkan kelestarian alam, mereka melupakan hubungan spiritual mereka. Pembangunan yang tidak terkendali, seperti alih fungsi lahan hijau menjadi hotel atau vila, sering kali mengabaikan sistem drainase alami. Ini dapat diartikan sebagai ketidakharmonisan dalam hubungan Parhyangan, di mana manusia telah mengabaikan tanggung jawab suci untuk menjaga alam ciptaan-Nya. Ritual-ritual seperti upacara bhuta yadnya yang bertujuan menyeimbangkan alam dan entitas negatif di dalamnya, menjadi semakin relevan. Banjir mengingatkan masyarakat untuk kembali merenungkan makna spiritual dari keberadaan mereka di Bumi.

2. Pawongan: Hubungan Antarmanusia dan Dampak Sosial

Pawongan adalah hubungan harmonis antarmanusia. Dalam konteks banjir, aspek ini mencakup bagaimana masyarakat berinteraksi, bergotong royong, dan membangun sistem sosial yang tangguh. Banjir sering kali memperlihatkan ketimpangan sosial dan kurangnya kolaborasi. Misalnya, pembangunan di hulu atau daerah tangkapan air tanpa koordinasi yang baik dengan masyarakat di hilir dapat menyebabkan banjir di hilir.

Selain itu, masalah sosial seperti pembuangan sampah sembarangan juga memperparah banjir. Perilaku ini mencerminkan kurangnya kesadaran kolektif terhadap dampak dari tindakan individu. Sampah yang menyumbat saluran air bukan hanya masalah teknis, tetapi juga masalah sosial yang menunjukkan keretakan dalam hubungan Pawongan. Solusi untuk masalah ini adalah dengan memperkuat kembali nilai-nilai menyama braya (persaudaraan), di mana setiap individu merasa bertanggung jawab tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk komunitas secara keseluruhan.

Gotong royong dalam membersihkan saluran air, penanaman pohon bersama, dan edukasi lingkungan adalah contoh nyata dari upaya untuk memperkuat hubungan Pawongan. Banjir memaksa masyarakat untuk bekerja sama, saling membantu, dan membangun solidaritas. Dengan demikian, bencana ini menjadi momentum untuk memperkuat kembali ikatan sosial dan rasa kebersamaan yang menjadi ciri khas masyarakat Bali.

3. Palemahan: Hubungan dengan Alam dan Keterputusan Ekologis

Palemahan adalah hubungan harmonis antara manusia dengan alam. Aspek ini mungkin yang paling langsung terpengaruh dan memengaruhi fenomena banjir. Ketika hubungan ini tidak harmonis, alam akan bereaksi. Pembangunan yang masif, terutama di daerah-daerah resapan air, telah mengubah topografi dan hidrologi alami Bali. Hutan-hutan yang digunduli, sungai-sungai yang dicemari, dan lahan persawahan yang beralih fungsi menjadi beton adalah manifestasi dari ketidakseimbangan Palemahan.

Pembangunan tidak bisa dihentikan, tetapi harus dilakukan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan. Konsep pembangunan hijau dan arsitektur vernakular yang mengintegrasikan unsur-unsur alam ke dalam desain bangunan adalah cara untuk membangun tanpa merusak. Penggunaan material lokal, penanaman kembali pohon-pohon endemik, dan pengelolaan air hujan yang efektif adalah langkah-langkah konkret untuk memulihkan hubungan Palemahan. Banjir menjadi bukti nyata bahwa alam memiliki mekanisme sendiri untuk menyeimbangkan diri, dan ketika keseimbangan itu terganggu, dampaknya akan dirasakan oleh manusia.

Kesimpulan: Mengembalikan Keseimbangan Tri Hita Karana

Banjir di Bali adalah sebuah peringatan yang kompleks, mencerminkan ketidakseimbangan pada tiga aspek Tri Hita Karana secara bersamaan. Ini bukan hanya masalah teknis yang bisa diselesaikan dengan infrastruktur yang lebih baik, tetapi juga masalah spiritual, sosial, dan ekologis yang membutuhkan perubahan mendasar dalam cara pandang dan perilaku.

Untuk mengatasi banjir secara holistik, masyarakat Bali harus kembali pada akar filosofi Tri Hita Karana. Ini berarti memulihkan hubungan yang harmonis dengan Tuhan (Parhyangan) dengan menghormati alam ciptaan-Nya, memperkuat hubungan antarmanusia (Pawongan) melalui kolaborasi dan kepedulian sosial, serta menjaga hubungan dengan alam (Palemahan) melalui pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Dengan mengembalikan keseimbangan ini, Bali tidak hanya dapat mengurangi risiko bencana banjir, tetapi juga kembali menjadi pulau yang benar-benar harmonis, sejalan dengan citra spiritual dan ekologisnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun