2. Pawongan: Hubungan Antarmanusia dan Dampak Sosial
Pawongan adalah hubungan harmonis antarmanusia. Dalam konteks banjir, aspek ini mencakup bagaimana masyarakat berinteraksi, bergotong royong, dan membangun sistem sosial yang tangguh. Banjir sering kali memperlihatkan ketimpangan sosial dan kurangnya kolaborasi. Misalnya, pembangunan di hulu atau daerah tangkapan air tanpa koordinasi yang baik dengan masyarakat di hilir dapat menyebabkan banjir di hilir.
Selain itu, masalah sosial seperti pembuangan sampah sembarangan juga memperparah banjir. Perilaku ini mencerminkan kurangnya kesadaran kolektif terhadap dampak dari tindakan individu. Sampah yang menyumbat saluran air bukan hanya masalah teknis, tetapi juga masalah sosial yang menunjukkan keretakan dalam hubungan Pawongan. Solusi untuk masalah ini adalah dengan memperkuat kembali nilai-nilai menyama braya (persaudaraan), di mana setiap individu merasa bertanggung jawab tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk komunitas secara keseluruhan.
Gotong royong dalam membersihkan saluran air, penanaman pohon bersama, dan edukasi lingkungan adalah contoh nyata dari upaya untuk memperkuat hubungan Pawongan. Banjir memaksa masyarakat untuk bekerja sama, saling membantu, dan membangun solidaritas. Dengan demikian, bencana ini menjadi momentum untuk memperkuat kembali ikatan sosial dan rasa kebersamaan yang menjadi ciri khas masyarakat Bali.
3. Palemahan: Hubungan dengan Alam dan Keterputusan Ekologis
Palemahan adalah hubungan harmonis antara manusia dengan alam. Aspek ini mungkin yang paling langsung terpengaruh dan memengaruhi fenomena banjir. Ketika hubungan ini tidak harmonis, alam akan bereaksi. Pembangunan yang masif, terutama di daerah-daerah resapan air, telah mengubah topografi dan hidrologi alami Bali. Hutan-hutan yang digunduli, sungai-sungai yang dicemari, dan lahan persawahan yang beralih fungsi menjadi beton adalah manifestasi dari ketidakseimbangan Palemahan.
Pembangunan tidak bisa dihentikan, tetapi harus dilakukan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan. Konsep pembangunan hijau dan arsitektur vernakular yang mengintegrasikan unsur-unsur alam ke dalam desain bangunan adalah cara untuk membangun tanpa merusak. Penggunaan material lokal, penanaman kembali pohon-pohon endemik, dan pengelolaan air hujan yang efektif adalah langkah-langkah konkret untuk memulihkan hubungan Palemahan. Banjir menjadi bukti nyata bahwa alam memiliki mekanisme sendiri untuk menyeimbangkan diri, dan ketika keseimbangan itu terganggu, dampaknya akan dirasakan oleh manusia.
Kesimpulan: Mengembalikan Keseimbangan Tri Hita Karana
Banjir di Bali adalah sebuah peringatan yang kompleks, mencerminkan ketidakseimbangan pada tiga aspek Tri Hita Karana secara bersamaan. Ini bukan hanya masalah teknis yang bisa diselesaikan dengan infrastruktur yang lebih baik, tetapi juga masalah spiritual, sosial, dan ekologis yang membutuhkan perubahan mendasar dalam cara pandang dan perilaku.
Untuk mengatasi banjir secara holistik, masyarakat Bali harus kembali pada akar filosofi Tri Hita Karana. Ini berarti memulihkan hubungan yang harmonis dengan Tuhan (Parhyangan) dengan menghormati alam ciptaan-Nya, memperkuat hubungan antarmanusia (Pawongan) melalui kolaborasi dan kepedulian sosial, serta menjaga hubungan dengan alam (Palemahan) melalui pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Dengan mengembalikan keseimbangan ini, Bali tidak hanya dapat mengurangi risiko bencana banjir, tetapi juga kembali menjadi pulau yang benar-benar harmonis, sejalan dengan citra spiritual dan ekologisnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI