Mohon tunggu...
Chrnisva
Chrnisva Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Sebelas Maret

Tertarik pada bidang Finance dan Government

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pemerataan Akses Pendidikan Dasar di Jawa Tengah: Tantangan dan Solusi dalam Rangka Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

27 September 2025   10:40 Diperbarui: 27 September 2025   10:39 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

PENDAHULUAN

Pendidikan dasar merupakan fondasi penting dalam pembangunan manusia karena menentukan kualitas sumber daya di masa depan. Pemerataan akses pendidikan dasar menjadi isu strategis di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah, yang masih menghadapi ketimpangan antarwilayah. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2023) menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Sekolah (APS) Jawa Tengah usia 7-12 tahun sudah relatif tinggi, yaitu 99,48 persen. Namun, pada usia 13-15 tahun terjadi penurunan menjadi 95,37 persen, yang menandakan masih ada anak-anak di jenjang SMP yang tidak melanjutkan pendidikan. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemerataan akses belum sepenuhnya tercapai, terutama di daerah pedesaan dan terpencil. Kondisi ini penting untuk ditinjau dalam kerangka Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 4 yang menargetkan pendidikan inklusif dan berkualitas bagi semua anak pada tahun 2030 (United Nations, 2015).

PEMBAHASAN

Salah satu tantangan besar pemerataan pendidikan dasar di Jawa Tengah adalah faktor geografis. Provinsi ini memiliki daerah pegunungan, pesisir, hingga pedalaman yang beragam dalam ketersediaan fasilitas pendidikan. Laporan Kemendikbudristek (2022) menunjukkan bahwa distribusi sekolah dasar di wilayah pedesaan cenderung lebih sedikit dibanding perkotaan, sehingga anak-anak di daerah terpencil sering menghadapi jarak tempuh yang jauh ke sekolah. Kondisi geografis ini memengaruhi kehadiran siswa dan pada akhirnya berdampak pada partisipasi pendidikan. 

Selain itu, faktor ekonomi keluarga berperan besar dalam menurunkan akses pendidikan. BPS (2022) mencatat bahwa anak dari rumah tangga dengan pengeluaran 40 persen terbawah lebih rentan putus sekolah dibandingkan kelompok ekonomi menengah atas. Meskipun pemerintah telah menyediakan Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), distribusi dan efektivitasnya masih menghadapi kendala. UNICEF (2021) menegaskan bahwa pandemi COVID-19 memperburuk kesenjangan ini, terutama bagi keluarga miskin yang kesulitan membeli perangkat digital atau mengakses internet untuk pembelajaran daring.

Kualitas tenaga pendidik juga menjadi persoalan. Rasio guru terhadap murid di Jawa Tengah memang membaik, namun distribusi guru belum merata. Data Kemendikbudristek (2021) mengindikasikan bahwa sekolah di wilayah terpencil masih kekurangan guru bersertifikasi, terutama pada jenjang Sekolah Dasar. Ketidakmerataan ini membuat kualitas pembelajaran di daerah tertentu tertinggal dibandingkan kota besar seperti Semarang atau Surakarta. Dampaknya, meski akses sekolah tersedia, mutu pendidikan yang diterima siswa tidak setara.

Infrastruktur sekolah turut menjadi kendala pemerataan. Menurut BPS (2021) sekitar 13 persen sekolah dasar di Jawa Tengah masih dalam kondisi rusak ringan hingga berat. Infrastruktur yang kurang layak tidak hanya mengurangi kenyamanan belajar, tetapi juga dapat menurunkan motivasi anak untuk bersekolah. Kondisi ini memperlihatkan bahwa pemerataan akses tidak cukup hanya dengan meningkatkan jumlah siswa, melainkan juga menjamin sarana pendidikan yang layak.

Di era digital, kesenjangan akses teknologi menjadi tantangan baru. Pandemi memperlihatkan betapa ketidakmerataan jaringan internet dan kepemilikan perangkat menimbulkan "learning loss" yang signifikan. Laporan Bank Dunia (2022) menyebutkan bahwa Indonesia berpotensi mengalami kehilangan pembelajaran hingga 0,9 tahun akibat pandemi, dan kesenjangan ini paling terasa di daerah dengan infrastruktur digital terbatas. Jawa Tengah yang masih memiliki wilayah blank spot internet ikut terdampak fenomena ini.

Namun, berbagai solusi dapat dilakukan untuk menjawab tantangan tersebut. Pemerintah daerah dapat memperkuat pemerataan distribusi guru dengan memberikan insentif khusus bagi tenaga pendidik yang ditempatkan di wilayah terpencil. Program BOS dan KIP juga perlu ditingkatkan akurasi penyalurannya dengan basis data terpadu, sehingga anak-anak dari keluarga miskin benar-benar mendapatkan manfaat. Selain itu, rehabilitasi sarana sekolah harus menjadi prioritas dalam anggaran pendidikan daerah agar kesenjangan kualitas antarwilayah dapat dipersempit (BPS, 2023).

Digitalisasi pendidikan juga menawarkan peluang besar. Perluasan akses internet dan penyediaan perangkat belajar melalui program kerja sama antara pemerintah,swasta, dan komunitas lokal dapat mengurangi kesenjangan digital. Kemendikbudristek (2023) telah meluncurkan platform Merdeka Mengajar sebagai sarana pembelajaran daring, namun implementasinya akan optimal jika didukung pemerataan infrastruktur TIK di seluruh wilayah Jawa Tengah. Langkah ini sejalan dengan target SDG 9 tentang infrastruktur yang inklusif dan inovatif, yang dapat mendukung SDG 4 secara lebih luas.

KESIMPULAN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun