Bayangkan tubuh kita seperti sebuah mesin yang bekerja tanpa henti. Selama mesinnya masih terawat baik semuanya akan berjalan lancar. Namun, bagaimana jika perlahan-lahan karat mulai menumpuk tanpa kita sadari? Karat itu ibarat faktor risiko yang diam-diam melemahkan tubuh, hingga suatu saat mesin akan berhenti bekerja, itulah yang sering terjadi pada serangan stroke pada tubuh manusia. Penyakit ini datang tiba-tiba, tanpa ada peringatan, padahal akarnya bisa saja sudah tumbuh lama melalui pola hidup sehari-hari. Pertanyaannya, seberapa besar sebenarnya stroke dapat menjadi ancaman bagi manusia saat ini?
Stroke hingga kini masih menjadi salah satu penyebab utama kecacatan dan penyebab kematian kedua terbanyak di dunia. Data dari World Health Organization (WHO), melaporkan bahwa setiap tahun 15 juta orang menderita stroke, dengan lebih dari sepertiganya meninggal dunia dan sisanya hidup dengan disabilitas jangka panjang (Feigin et al., 2025). Di Indonesia, dari hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 didapatkan bahwa prevalensi stroke di Indonesia mencapai 8,3 per 1000 penduduk, dengan sebesar 11,2% mengalami kecacatan dan 18,5% mengalami kematian (Darmawati et al., 2024). Angka ini menunjukkan bahwa stroke bukan sekedar masalah individu, melainkan menjadi tantangan serius bagi kesehatan masyarakat dan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia.
Di balik tingginya angka kejadina stroke, terdapat faktor risiko yang sering kali tidak disadari perkembangannya, yaitu sindrom metabolik. Sindrom metabolik bukanlah satu penyakit tunggal, melainkan sekumpulan gangguan metabolik yang berikatan satu dengan yang lain. Seseorang dapat dikatakan mengakalami sindrom metabolik apabila memenuhi setidaknya tiga dari lima kriteria diagnostik, yaitu: lingkar pinggang berlebih (obesitas sentral), kadar trigliserida 150 mg/dl, kadar HDL (High-Density Lipoprotein) rendah (< 40 mg/dl pada pria, < 50 mg/dl pada wanita), tekanan darah 130/85 mmHg, dan kadar glukosa darah puasa 100 mg/dl. Kombinasi ini dapat menjadi faktor-faktor yang menciptakan kondisi metabolik yang secara diam-diam memperbesar risiko penyakit kardiovaskular, termasuk stroke.
Kombinasi komponen sindrom metabolik tersebut tidak hanya bekerja sendiri, tetapi bekerja saling memperkuat melalui berbagai mekanisme biologis yang mendukung terjadinya stroke (Moghadam-Ahmadi et al., 2023). Obesitas sentral memicu resistensi insulin, yang dapat menimbulkan stres oksidatif dan kerusakan endotel, kerusakan ini memudahkan lipid dan LDL menempel di dinding pembuluh darah. Di Indonesia, survei IFLS (Indonesia Family Life Survey) menunjukkan bahwa prevalensi sindrom metabolik mencapai 21,6% dengan komponen yang dominan adalah kadal HDL rendah dan hipertensi, yang menunjukkan bahwa komponen tersebut sangat relevan dalam konteks lokal (Herningtyas & Ng, 2019). Hipertensi yang menentap kemudian semakin memperparah kerusakan vaskular dan mempercepat remodeling dinding arteri menjadi lebih kaku (Moghadam-Ahmadi et al., 2023)
Hiperglikemia kronis memperburuk kerusakan pada pembuluh darah melalui mekanisme peningkatan radikal bebas dan glikosilasi nonenzimatik yang merusak sel endotel. Dislipidemia, khususnya kombinasi trigliserida tinggi dan HDL rendah mempercepat pembentukan plak dan mempersempit lumen arteri. Peradangan sistematik yang dipicu oleh lemak visceral melepaskan sitokin inflamasi yang meningkatkan potensi koagulasi darah. Kombinasi keempat faktor ini menjelaskan mengapa studi fluktuasi parameter metabolik menjadi risiko stroke total dan iskemik meningkat pada individu dengan sindrom metabolik variabel tinggi (Liu et al., 2024).
Kerusakan kronis pada pembuluh darah otak bisa menyebabkan dua tipe stroke yang berbeda: stroke iskemik, akibat sumbatan aliran darah, dan stroke hemoragik, akibat pecahnya pembuluh yang sudah melemah. Penelitian yang dilakukan oleh Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa sindrom metabolik berkontribusi pada uptick angka stroke iskemik terutama pada kelompok usia produktik (>15 tahun) dibanding rata-rata populasi (Yulianto et al., 2023) Hasil ini memperkuat bahwa sindrom metabolik bukan dari satu faktor saja, melainkan interaksi banyak komponen yang secara bersama-sama bisa menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah otak yang berujung pada stroke.
Beberapa studi terbaru menunjukkan bahwa kombinasi beberapa faktor dalam sindrom metabolik bisa meningkatkan risiko stroke lebih daripada satu faktor saja. Studi yang dilakukan oleh Weng et al. (2025) menemukan bahwa skor resistensi insulin yang tinggi berhubungan dengan peningkatan risiko stroke meskipun faktor lainnya sedang-sedang saja. Di Indonesia, penelitian Riskesdas 2018 menemukan bahwa orang dewasa >15 tahun yang memiliki sindrom metabolik memiliki peluang sekitar 2,4 kali lebih besar untuk mengalami stroke dibanding orang yang tidak memiliki sindrom metabolik  (Yulianto et al., 2023). Interaksi antara tinggi gula darah, tekanan darah, dan lemak darah (trigliserida tinggi atau HDL rendah) tampaknya mempercepat kerusakan pada pembuluh darah. Karena itu, bila seseorang memiliki beberapa gangguan metabolik sekaligus, kontrol dan pemantauan rutin jadi sangat penting.
Beban akibat sindrom metabolik dan stroke bukan hanya dinilai dari aspek medis, tapi juga sosial dan ekonomi. Contohnya, kombinasi kelebihan berat badan, gula darah tinggi, dan abnormalitas lipid seperti dalam studi triglyceride-glucose related indices ditemukan memiliki korelasi kuat dengan kejadian stroke di tahap awal MetS (Yue et al., 2025). Di Indonesia, prevalensi sindrom metabolik cukup tinggi menurut Riskesdas, dan angka tersebut memperlihatkan bahwa banyak orang berada di risiko yang tidak disadari (Yulianto et al., 2023). Untuk pencegahan, berikut beberapa hal yang bisa dilakukan: edukasi masyarakat agar lebih peduli terhadap pola makan (mengurangi gula/lemak), rutin olahraga, serta skrining faktor risiko seperti tekanan darah, gula darah, dan kolesterol. Kebijakan publik juga penting seperti regulasi makanan tinggi lemak/gula dan penyediaan fasilitas untuk aktivitas fisik. Dengan pencegahan sejak awal, kemungkinan stroke dan komplikasinya yang berat bisa dikurangi.
Sindrom metabolik merupakan kombinasi faktor risiko yang sering tidak disadari, tapi secara nyata meningkatkan kemungkinan terjadinya stroke. Dari studi seperti NHANES dan Riskesdas 2018 sampai eksperimen terbaru pada indeks triglyceride-glucose, semakin banyak bukti bahwa kondisi MetS yang melibatkan beberapa gangguan mempercepat kerusakan pembuluh darah dan memicu gangguan aliran darah di otak. Oleh karena itu, deteksi dini, gaya hidup sehat, dan pemantauan faktor risiko secara rutin sangat penting agar "ancaman diam-diam" ini tidak berakhir menjadi stroke. Pendekatan terpadu antara individu, tenaga kesehatan, dan kebijakan publik bisa menjadi kunci untuk mengendalikan risiko ini.
Referensi:
Darmawati, A., Najah, M., & Prasetyo, S. (2024). Stroke pada Lansia di Indonesia: Gambaran Faktor Risiko Berdasarkan Gender (SKI 2023). Jurnal Biostatistik, Kependudukan, Dan Informatika Kesehatan, 5(1), 33–44. https://doi.org/10.7454/bikfokes.v5i1.1092