Mohon tunggu...
Estrina Maya
Estrina Maya Mohon Tunggu... Psikolog - Grateful Hunter!

Adalah manusia yang mencintai kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Waspadai Toxic Shame: Belajar Menghadapi Rasa Malu

27 Februari 2024   16:10 Diperbarui: 27 Februari 2024   16:13 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source : bobo grid.id 

Siapa yang pernah bertemu dengan rasa malu?. Rasanya hampir kebanyakan dari kita pernah merasakan ini. Reaksi pertama yang terlintas saat merasa malu biasanya ingin menghilang dari tempat berjejak, ingin bersembunyi dan menarik diri sejauh mungkin. Sama seperti yang pernah penulis alami. Mari kita mulai cerita ini, saat itu ulang tahun Daerah Keistimewaan Yogyakarta akan segera diperingati. Untuk ikut memeriahkan acara tersebut, salah satunya diadakanlah lomba memainkan permainan tradisional antar kantor. Penulis tergabung dalam tim gobak sodor. Sebuah permainan tradisional yang dimainkan secara berkelompok dan terbagi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok penyerang dan kelompok bertahan. Long story short, saat berlatih, penulis melaluinya dengan suka cita. Permainan semacam ini seakan menghidupkan ingatan bahagia, bebas dan keseruan pada masa kecil dulu.

ilustrasi permainan gobak sodor . Source : twitter.com/goodsideid
ilustrasi permainan gobak sodor . Source : twitter.com/goodsideid

Saat berperan sebagai tim penyerang, tentunya penulis bersemangat untuk lari namun naas tak dapat ditolak, penulis yang lari menggunakan rok jatuh terjerembab bin 'njungkel'. Sakit? jelas, tangan dan lutut yang tergesek paving block lecet, berdarah dan memar. Namun ternyata ada yang lebih sakit dari itu, yaitu lahirnya rasa malu yang teramat sangat (hahah agak lebay tapi beneran malu banget rasanya). Detik itu juga, rasa malu datang bertamu. Bagaimana tidak, penulis berlatih gobak sodor di tengah kantor dan disaksikan oleh banyak rekan serta beberapa punggawa kantor. Herannya, perasaan malu ini semacam bersaudara dengan air mata, kuat sekali hubungan mereka. Selepas meninggalkan lokasi latihan, penulis menepi dan menahan air mata yang roboh bendungannya. Ada yang memiliki pengalaman serupa?

Setelah penulis amati, ternyata malu ini tidak berdiri sendirian. Malu bercampur dengan perasaan bersalah (lebih tepatnya menyalahkan diri) karena seolah tidak dapat memenuhi standar. Standar apa itu? standar untuk dapat melakukan sesuatu dengan baik, dalam hal ini harusnya lebih berhati-hati, harusnya lebih memperhatikan arahan dengan berlatih menggunakan celana, harusnya tidak perlu terjatuh dan masih banyak 'harusnya' yang lain. Menyalahkan diri juga akhirnya memunculkan perasaan sedih dan marah pada diri sendiri. Terjawab sudah robohnya bendungan air mata disebabkan oleh perasaan dan pikiran penyerta yang bergandengan dengan perasaan malu.

Berkenalan dengan Rasa Malu.

Pada dasarnya, rasa malu merupakan bagian dari emosi dasar  yang dapat mempengaruhi bagaimana kita bertindak. American Psychological Association (APA) mendefinisikan malu sebagai tendensi untuk merasa tidak nyaman, aneh, bingung, gugup dan tidak percaya diri, terlebih jika berada di tengah orang yang tidak terlalu dekat (unfamiliar). Saat merasa malu, kita juga cenderung merasa tidak siap menjadi pusat perhatian. Biasanya terdapat perubahan fisik yang menyertai rasa malu seperti bernafas lebih cepat, rona wajah memerah, berkeringat, sulit berkata-kata, bersuara lebih pelan dan sedikit limbung. Layaknya emosi-emosi yang ada, rasa malu juga memiliki tingkatan mulai dari ringan, sedang dan berat tergantung dari situasi yang dialami dan dari bagaimana kita mempersepsi sebuah situasi. 

Perasaan malu terkadang  muncul saat kita bingung bagaimana harus bereaksi dan atau khawatir tentang bagaimana orang lain merespon kejadian yang kita alami. Yang perlu digarisbawahi, merasa malu adalah wajar. Pada beberapa kondisi, malu malah dapat menjadi penyelamat. Malu dapat menjadi rem agar kita tidak bersikap di luar norma. Malu juga menghindarkan kita dari sikap arogan. Di beberapa referensi dikatakan bahwa perasaan  malu membuat kita lebih peka dan peduli terhadap perasaan orang lain.

Kapan Kita Harus Waspada?

Malu itu manusiawi, namun ketika perasaan malu ini dirasakan cukup ekstrim, terasa berat untuk dihadapi dan mengganggu keseharian, maka kita patut waspada. Toxic shame, begitu istilah psikologi populer untuk rasa malu yang tidak sehat. Apa saja tanda-tandanya? cekidoott...

1. Rasa malu berlangsung terus menerus. Rasa malu yang didampingi dengan pemikiran netral atas peristiwa biasanya akan cenderung berkurang seiring waktu. namun jika merasa intensitas malu mulai berlebihan tiap harinya dan bahkan meningkat hingga lebih dari 2 minggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun