Mohon tunggu...
Esti Maryanti Ipaenim
Esti Maryanti Ipaenim Mohon Tunggu... Jurnalis - Broadcaster, seorang ibu bekerja yang suka baca, nulis dan ngonten

Menulis gaya hidup dan humaniora dengan topik favorit; buku, literasi, seputar neurosains dan pelatihan kognitif, serta parenting.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Berdamai dengan Penderitaan, Spirit Waisak dan Ramadan

7 Mei 2020   22:55 Diperbarui: 7 Mei 2020   23:11 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pada sebuah laci yang tertutup aku menyimpan agama bersama mainan-mainanku yang lain . Jika kawan-kawanku berkunjung dan mengajakku bermain aku akan mengeluarkan semua mainanku. Kecuali yang satu itu."  (Sebuah Laci Yang Tertutup, Theoresia Rumthe)

Saya beberapa kali kecele dengan teman-teman yang beragama Buddha, karena salah mengira agama apa yang mereka anut. Terus terang agak sulit dan membutuhkan waktu yang agak lama untuk bisa mengetahui bahwa ada seseorang di antara teman-teman saya itu beragama Buddha. Mereka tidak gampang dikenali, terkecuali  bila mereka adalah biksu dan biksuni, yang bisa dikenali hanya dalam sedetik karena tampilan pakaiannya.

Tata laku bersahaja yang selalu tampak dari teman-teman itu, seakan menunjukkan apa yang disebut Theoresia dalam puisinya di atas. Bila agama membuat orang menjadi angkuh, maka lebih baik disimpan saja ia di laci yang tertutup.

Dalam hal tersebut, kadang saya tertohok. Intimasi teman-teman itu dengan ajaran yang mereka anut tidak serta merta membuat mereka menunjukkan diri menjadi yang paling Buddhis. Tidak seperti sebagian umat agama yang saya anut, yang ketika baru memulai keintimannya dengan agama, sudah berlaku seperti orang yang paling suci dan tak berdosa.

Atau mungkin itu karena penganut Buddha bertitik tolak dari pandangan mendalam bahwa segala di dunia adalah samsara, penderitaan. Para penganut Buddha dianjurkan melakukan pertapaan-pertapaan panjang dan berpuasa dari segala sesuatu selama melakukannya. Diharapkan setelah itu, mereka mampu memiliki ketenangan hati, kejernihan pikiran untuk melihat realita kehidupan, lalu memahami penderitaan orang-orang di dunia.

Pandangan tersebut sejatinya memiliki spirit atau pesan moral yang serupa dengan Ramadan. Puasa Ramadan mengajak setiap Muslim untuk menahan diri dari nafsu duniawi berupa kelaparan dan kehausan untuk memahami penderitaan orang-orang, memahami kerendahan, kehinaan dan kemiskinan dirinya di hadapan Tuhan.

Begitulah ibadah agama- agama, senantiasa mendidik penganutnya akan pesan moral tertentu. Namun, terkadang tak sedikit penganut agama yang hanya fokus pada ritus, dan melupakan pesan moral di balik ritus itu.

Hari Waisak, diperingati umat Buddha sebagai peristiwa kelahiran, pencerahan dan wafatnya Buddha. Guru Sidharta ini terdorong untuk meninggalkan kemapanannya dan berusaha mencari makna di balik kenyataan hidup yang fana.

Seolah ingin menyampaikan bahwa kebahagiaan manusia justru tercapai pada momen orang menemukan makna di balik tragedi dan kerasnya kehidupan.  

Apa kaitan peringatan Waisak dengan Ramadan di tengah pandemi? Bahwa sudah sepatutnya kita memang berdamai dengan segala bentuk tragedi dan penderitaan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun