Kekhilafahan Utsmani berhasil mencatat prestasi gemilang dalam sejarah Islam. Berkuasa selama kurang lebih tujuh abad lamanya (1299-1922), kekuasaan kesultanan yang ketika itu berpusat di Turki tersebut mencapai Hongaria di bagian utara, Somalia di bagian selatan, Aljazair di sebelah barat, dan Irak di sebelah Timur.Sejarah juga mencatat patriotisme, kegigihan, dan komitmen para sultan Ottoman terhadap tegak dan majunya peradaban Islam. Maka menjadi hal yang menarik pula untuk kita mengtahui bagaimana negara besar ini menyelenggarakan ibadah haji dikala itu.
Makna yang paling menonjol dalam pelaksanaan ibadah haji adalah persatuan umat. Pesatuan ini tampak dalam pelaksanaan wukuf di 'Arafah, sebagai rukun paling utama dalam ibadah haji. Rasulullah SAW bersabda: "Haji adalah Arafah." (HR. an-Nasa'i).
Arafah telah mempertemukan seluruh jamaah haji dari berbagai dunia, yang bukan hanya diikat oleh akidah yang sama, Alquran yang sama, kiblat yang sama, namun mereka juga menjalankan nusuk yang sama, berkumpul di tempat yang sama, pada waktu yang sama, dan menyerukan seruan yang sama, yakni bacaaan talbiah, tahlil, tahmid, takbir, dzikr dan doa. Sejak matahari terbit, pada tanggal 9 Dzulhijjah, mereka berbondong-bondong datang memasuki Arafah. Tepat pada saat zawal, ketika wukuf telah dimulai, lautan manusia; tua-muda, pria-wanita, hitam-putih, semuanya tumpah ruah di tempat itu. Semuanya berpakaian sama, tidak peduli jabatan, status sosial dan kedudukan mereka. Semuanya berpakaian ihram. Tidak ada kelas, karena semuanya sama.
Ibadah haji benar-benar telah membuktikan kebenaran firman Allah SWT: "Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu, dan Akulah Tuhan kalian. Maka, sembahlah Aku." (TQS. al-Anbiya' [20]: 92). Ketika seluruh umat Islam ini benar-benar melebur menjadi satu.Â
Pada masa Utsmani yang memahami benar akan hukum dan makna haji, terdapat beragam sarana dan bantuan yang disiapkan negara agar sempurna kewajiban haji warga negaranya. Negara  membentuk departemen khusus yang menangani ibadah haji dan segala hal yang dibutuhkan, juga membangun sarana prasarana transportasi, baik melalui jalur darat, laut, dan udara.
Pada masa Khalifah Sultan Abdul Hamid II, pernah dibangun sarana transportasi massal dari Istanbul hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji.
Tidak ada visa haji pada masa itu, sehingga seluruh jemaah haji dari berbagai negeri muslim dalam wilayah pemerintahan Islam bisa keluar masuk Makkah---Madinah dengan mudah tanpa visa. Visa hanya untuk kaum muslim yang menjadi warga negara di luar daulah.
Dan langkah ini juga ditempuh di zaman Abbasiyah, Khalifah Harun ar-Rasyid membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah---Madinah). Negara juga menyediakan logistik dan dana zakat bagi jemaah yang kehabisan bekal.
Hal teknis lainnya, negara akan mengatur kuota jemaah haji (dan umrah) dan memprioritaskan jemaah yang memang sudah memenuhi syarat dan mampu. Dengan pengaturan yang rapi dan bertanggung jawab oleh negara, alhamdulillah ibadah haji warga negara dapat terlaksana setiap tahunnya.Â