Di tengah hiruk pikuk inovasi dan teknologi yang mendominasi World Expo 2025 Osaka, Indonesia hadir dengan sentuhan yang berbeda: sebuah perayaan budaya, cita rasa, dan kehangatan yang mendalam. Pada 27 Mei 2025, saat National Day World Expo 2025 Osaka, Pavilion Indonesia bukan hanya sekadar bangunan, melainkan sebuah panggung megah tempat warisan Nusantara bertemu masa depan, disatukan oleh aroma kopi yang memikat.
Sore itu, Yumeshima, sebuah pulau buatan yang menjadi lokasi World Expo 2025 di Osaka, Â bagai dihidupkan oleh irama gamelan dan gemuruh tarian. Sebuah parade budaya yang memukau mengawali perayaan, dipimpin oleh ikon-ikon tak lekang dimakan waktu seperti Ondel-Ondel Betawi yang mengangguk ramah, Reog Ponorogo dengan mahkotanya yang gagah, serta derap langkah tarian daerah dari berbagai penjuru Indonesia. Mereka berarak dari Grand Ring menuju National Day Hall, diiringi tatapan kagum para pengunjung internasional.
Pemandangan ini bukan hanya sekadar tontonan, melainkan sebuah pernyataan. Dipimpin oleh Menko PMK Pratikno, didampingi Ketua Umum Dekranas Selvi Gibran Rakabuming dan Wakil Menteri Bappenas Febrian A. Ruddyard, parade ini menyimbolkan kekuatan persatuan dan tekad Indonesia untuk unjuk gigi di kancah global. Kehadiran tokoh-tokoh penting seperti Ketua Komisi IV DPR RI Titiek Soeharto dan Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak semakin memperkuat pesan bahwa ini adalah upaya kolektif.
Melampaui Batas: Panggung Indonesia untuk Dunia
Menko PMK Pratikno dalam pidatonya menegaskan, "World Expo menjadi panggung penting untuk membangun persepsi dunia tentang Indonesia masa kini." Sebuah visi yang jelas: Indonesia bukan hanya tentang masa lalu, tapi juga tentang inovasi berkelanjutan dan kolaborasi yang telah teruji waktu, khususnya dengan mitra lama seperti Jepang.
Sore hari itu juga panggung utama National Day Indonesia menjadi saksi bisu harmoni suara dan gerak yang memukau. Dipandu dengan karisma oleh Tantowi Yahya, mantan duta besar yang kini kembali ke panggung seni, pertunjukan dimulai dengan penampilan memukau. Cecep Arif Rahman dan Padepokan Kasundan membuka tirai dengan seni pencak silat dalam format teatrikal yang memesona, memadukan kekuatan dan keindahan gerak.
Lalu, suasana melunak ketika Endah Laras melantunkan "Bengawan Solo" dalam dua bahasa---Indonesia dan Jepang. Sebuah penghormatan yang menyentuh hati, seolah menjembatani dua budaya melalui melodi yang abadi. Tak lama, panggung kembali bergetar oleh energi modern dari Tulus. Lagu-lagu populernya, termasuk "Tujuh Belas" yang berkolaborasi dengan Papermoon Puppet Theatre, membawa sentuhan kontemporer yang mendalam. Teater boneka asal Yogyakarta ini memang dikenal mampu menyampaikan pesan sosial tanpa kata, hanya melalui ekspresi boneka yang artistik.
Puncak pertunjukan datang dari suara emas Putri Ariani. Dengan penuh penghayatan, ia membawakan "Indonesia Pusaka", lagu kebangsaan yang sarat makna. Suaranya yang merdu, dipadu dengan semangatnya yang tak pernah padam, menggugah jiwa setiap orang yang hadir, mengingatkan akan kekuatan semangat kebangsaan yang luar biasa.