Mohon tunggu...
Dina Esterina
Dina Esterina Mohon Tunggu... Lainnya - Pendeta di Gereja Kristen Pasundan. Blogger di www.dinaesterinastories.blogspot.com dan podcaster di AFTERCOV

Tertarik menyororot dan menautkan makna hidup sebagai seorang yang spiritual dengan berbagai fenomena yang ada di masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

The Glory: Catatan Karma, Paskah dan Kebahagiaan Sosial

6 Mei 2023   15:13 Diperbarui: 6 Mei 2023   15:15 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Setelah lama tak menonton drama Korea, saya memutuskan menonton cuplikan satu drama Korea berjudul The Glory yang naskahnya digarap penulis Kim Eun Sook yang kelas wahid dalam membuat plot. Demi memuaskan rasa haus kita akan keadilan, The Glory dibuat memenangkan tokoh protagonisnya, yang juga jadi semi antaganis, Dong Eun yang berhasil membalaskan dendam kepada teman-temannya yang merundungnya habis-habisan di sekolah. 

Dong Eun sendiri mengatakan bahwa dendam membakar jiwanya. Dia memfokuskan diri pada upaya membuat bathinnya jauh lebih baik dan dia berhasil, tapi mungkin tak sepenuhnya berhasil membuatnya bahagia. Dong Eun memaksakan karma itu terjadi dalam genggamannya sendiri. Dan dia beroleh luka yang dalam karena itu. 

Menonton kisah gadis ini membuat saya memikirkan apakah kita akan berdiam diri saja melihat orang yang menderita? Kita menonton kisah dan penderitaan gadis ini dan merasa puas dia bisa membalaskan dendam, tapi apakah kita peduli pada pesan Kim Eun Sook bahwa dunia ini tak sepenuhnya menyajikan kemuliaan diri seperti the Glory?

Dalam dunia ini, tak ada yang sepenuhnya menang. Tahta tak selamanya kita pegang. Itu juga yang berusaha Eun Sook sampaikan. Meski nampaknya para musuh Dong Eun menang, mereka tak pernah sepenuhnya menang. Maka tujuan hidup manusia jika dihabiskan hanya untuk menang maka mesti siap menanggung kesementaraan. Mesti ada tujuan lain yang lebih kekal dibanding hanya dengan meraih dan menetapkan standar kepuasan pada dendam. 

Saya melihat semua tokoh dalam kisah drama ini. Semua memiliki peran penting dalam hidup Dong Eun. Ada yang meninggalkannya. Ada yang menjadikannya alat. Ada yang mengkambinghitamkannya. Ada yang kasihan. Ada yang membutuhkannya untuk pulih. Ada yang menolongnya karena kasih dan empati. Ada yang kagum. Ada yang ngeri. Ada yang merasa sangat takut. Yang terakhir ini, hadir dalam diri si musuh utama, Park Yeon Jin. Di banding semuanya, Yeon Jin digambarkan sebagai yang paling menderita. 

Dia dikhianati oleh semua orang di dalam hidupnya dan paling parah oleh dirinya sendiri. Dia berkutat dengan karma yang terjadi dari kesalahan semua orang di dekatnya. Dia korban dari salah didik paling parah. Dan kita bisa belajar bahwa penderitaan dimulai ketika ada orang-orang yang mengabaikan kebahagiaan orang di sekitar oleh karena memilih mengabaikannya. Rasa sakit itulah yang mesti dipikul dunia. 

Tak ada yang bisa memecahkan masalah penderitaan ini, sehingga semua orang terus mencari jalan menuju bahagia. Filsafat bersandar pada abstraksi dan konsep. Ateisme menyandarkan pada algoritma. Psikologi mencoba melindungi diri menderita dengan menetapkan bahwa diri adalah sumber dari bahagia itu. Tapi apalah semuanya itu jika kita tak memikirkan langkah aktif untuk menjadikan diri sebagai manusia yang bahagia untuk membahagiakan sesama. Dunia perlu lebih merespon.

Semua jalan menuju bahagia itu sah-sah saja menjadi opsi kebahagiaan. Asal opsi yang diambil membawa kita pada kesadaran bahwa kebahagiaan tak pernah menjadi kebahagiaan sejati jika hanya kita sendiri yang bahagia. Senang sendiri. Aman sendiri. Kebahagiaan bukanlah opsi bebas derita melainkan bebas dari egois. Karena itu Jean Paul Sartre pernah mengatakan semua kata mengandung risiko termasuk keheningan kita. Setiap saat adalah tanda kita hadir dan mengada. Membantu mereka yang hidupnya sulit dan butuh ditolong adalah sebuah langkah bermakna untuk mendekati kebahagiaan. 

Konsep karma memang terkait dengan reinkarnasi. Tapi juga mesti berhati-hati diletakkan sebagai penyebab penderitaan seseorang. Jangan-jangan kita mudah meletakkan stigma dosa masa lalu sebagai penyebab derita seseorang, padahal dia tak punya salah apa pun namun kemudian menanggung derita. Misalnya, korban kecelakaan lalu lintas yang sudah berkendara baik tapi mati karena dicelakakan. Mungkin si korban bukannya kurang saleh, tapi dia mesti menanggung derita itu. Bagaimana kita menjawabnya? Tentu tak bisa karena karma. 

Tapi karma bisa membuat kita berhati-hati dengan kehidupan, meski dalam Kekristenan, karma tak berlaku karena hidup manusia sekali dan itu yang mesti dimanfaatkan sebaiknya. Kekristenan selalu melihat hidup sebagai sebuah karya seni, yang mesti dipelajari seperti ujar Albert Camus, namun juga harus dicari nilainya dalam kasih, persahabatan, kegeraman dan belas kasih ujar Simone de Bouvoir. Santo Agustinus pun mengingatkan keaktifan kita mengupayakan kebahagiaan sosial adalah bagian dari cara kita terus menyadari bahwa tubuh kita bisa mati tapi dalam kematian, ada jiwa kita yang akan kekal bersama Allah. Kasih adalah perwujudan syukur kita sebagai yang sangat dicintai Allah secara istimewa dalam dunia, dan meski banyak realitas derita seperti yang dialami Yeon Jin dan Dong Eun, tak menafikan bahwa idealisme dalam psikologi adalah sebuah realisme bahwa kita bisa bertahan hidup dan bertahan jadi orang baik tatkala bisa merasa dicintai dan akhirnya menjalani hidup terus selama nafas masih ada menjadi yang baik. Bila mungkin mengupayakan hidup yang tak membawa derita bagi sesama. 

Dalam semangat Paska, semoga kita terus bisa merasakan bahwa tubuh, jiwa dan roh kita sepenuhnya dilindungi Allah. Kita berduka atas jiwa-jiwa yang meninggal dalam derita hidup dan berkomitmen membawa kebahagiaan dalam diri dan orang lain. Menghindarkan sebisa mungkin kebencian dan luka tak pulih. Mengupayakan sepenuhnya untuk merawatnya sehingga tak melukai lebih banyak orang lain. Belajar terus menjalani hidup yang sadar. Belajar untuk terus menjalani hidup yang terus dirasai cukup. belajar mensyukuri keberadaan dan pencapaian diri dan berusaha menjadi lebih baik demi orang-orang yang sangat kita kasihi dan mengasihi kita bukan karena dendam atau pembuktian ego. Sehingga dunia ini bisa pulih dari pemberontakkan kepada Allah dan menjadi sebuah meja perjamuan di mana semua orang di dalamnya diundang dan diliputi damai sejahtera. Selamat Paskah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun